Kamis 26 Dec 2024 18:40 WIB

Pengaruh Makkah dan Madinah dalam Tradisi Intelektual Islam dan Pesantren di Nusantara

Tradisi intelektual di pesantren pada abad ke-19 sudah terintegrasi.

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Muhammad Hafil
Ilustrasi Pondok Pesantren
Foto: ANTARA FOTO/NOVRIAN ARBI
Ilustrasi Pondok Pesantren

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Tradisi intelektual di pesantren pada abad ke-19 sudah terintegrasi sedemikian rupa dalam tradisi intelektual Islam di dunia Muslim khususnya Makkah dan Madinah. Dimensi internasional memang menjadi penting dipertimbangkan dalam rangka memahami dinamika serta perkembangan pesantren di Indonesia.

Penelitian tentang pesantren memang berusaha melihat dimensi internasional tersebut yang selama ini relatif terabaikan dari kajian para sarjana tentang lembaga pendidikan Islam tradisional ini.

Baca Juga

Mempertimbangkan jaringan yang sudah terbentuk bahkan sejak abad ke-17, perkembangan Islam di Timur Tengah khususnya Makkah dan Madinah serta Kairo di Mesir, memang memiliki peran sangat penting dalam pembentukan wacana intelelktual Islam Melayu-Indonesia termasuk dunia pesantren. 

Di abad ke-19, peran Timur Tengah ini, khususnya Makkah, memang demikian sentral dalam pembentukan wacana sosial-intelektual Islam di Melayu-Nusantara. Bertambahnya jumlah jamaah haji akibat perbaikan sistem transportasi laut telah membuat Makkah menjadi jantung dari dinamika Islam di Melayu-Nusantara abad ke-19.

Para pelajar Melayu-Nusantara di Makkah termasuk komunitas Jawi, telah membentuk satu kelompok sosial tersendiri meski terbagi ke dalam berbagai etnis, itu telah membawa mereka terlibat dalam interaksi intensif dan diskusi mengenai topik-topik yang berkenaan dengan perkembangan Islam di Melayu-Nusantara, demikian dijelaskan dalam buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia Jilid 2.

Komunitas Jawi di Makkah inilah yang kemudian menjadi aktor terkemuka dan menentukan dalam perkembangan Islam Melayu-Indonesia. Mereka menjadi pendiri dan sekaligus pemimpin pendidikan pesantren.

Dalam konteks perkembangan pesantren abad ke-19, penting ditekankan, pengaruh Makkah tampaknya bukan terletak pada model pendidikan yang menjadi dasar pendidikan pesantren. Karya klasik Snouck Hurgronje yang hingga kini merupakan terlengkap dalam membahas komunitas Jawi di Makkah, hanya menyatakan bahwa komunitas Jawi belajar di halaqah-halaqah yang terdapat di Masjidil Haram di bawah bimbingan Shaykh Makkah yang biasa disebut Shaykh al-Ulama atau Rektor (Hurgronje 1931). 

Oleh karena itu, aspek paling penting dari Makkah adalah bahwa melalui komunitas Jawi, tradisi pembelajaran Islam di pesantren, dan juga Islam di Melayu-Indonesia secara umum, semakin terintegrasi secara intensif ke dalam arus utama perkembangan Islam yang berbasis di Timur Tengah. Salah satu bukti penting dari hal itu adalah semakin banyak jumlah dan beragamnya kitab-kitab yang digunakan di pesantren di Indonesia, yang juga dipakai secara luas di berbagai lembaga pendidikan Islam di dunia Muslim, khususnya mereka yang berafiliasi dengan mazhab Syafi‘i.

Sejauh menyangkut dimensi internasional pesantren, pengalaman di negara Muslim lain menjadi penting diperhatikan. Dalam hal ini peran al-Azhar di Kairo, Mesir tampaknya perlu dibahas. 

Hingga saat ini kita memang tidak memiliki data memadai tentang komunitas Jawi di al-Azhar pada abad ke-19. Data yang ada selama ini berasal dari paruh pertama abad ke-20. Namun, karena beberapa alasan yang akan dijelaskan, hal itu bukan berarti bahwa al-Azhar tidak memiliki makna penting dalam perkembangan Islam di Indonesia abad ke-19. Meski tidak memberi pembahasan rinci, Snouck Hurgronje mengakui pentingnya al-Azhar sebagai pusat keilmuan mazhab Syaf‘i. 

Pengakuan serupa juga dikemukakan sarjana lain, Van den Berg, di mana dia melihat kemungkinan para ulama Indonesia menuntut ilmu di Kairo, selain tentu saja di Makkah. Hal yang hampir sama juga bisa dilihat pada Veth (1868), dia mencatat bahwa keberadaan komunitas Jawi di Kairo sebenarnya sudah dikenal. Selain memberi beberapa catatan tulisan sejumlah sarjana Barat tentang Riwaq al-Jawi, tempat belajar dan mondok komunitas Melayu di Kairo, tulisan Veth memberi kesan kuat bahwa sejumlah masyarakat Muslim Indonesia sudah sedemikian akrab dengan al-Azhar. Veth menulis bahwa Mesir adalah tempat yang baik untuk menuntut ilmu, meski hanya sedikit Muslim Indonesia yang belajar di sana.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement