Rabu 01 Jan 2025 18:20 WIB

Sri Mulyani Terbitkan PMK Soal PPN, Pengamat Pajak: Implementasinya Membingungkan

Skema penghitungan PPN dinilai menjadi rumit.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Ahmad Fikri Noor
Presiden Prabowo Subianto (kiri) berjabat tangan dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) usai menyampaikan keterangan pers terkait kenaikan tarif PPN di Jakarta, Selasa (31/12/2024).
Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Presiden Prabowo Subianto (kiri) berjabat tangan dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) usai menyampaikan keterangan pers terkait kenaikan tarif PPN di Jakarta, Selasa (31/12/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono, mengkritisi kompleksitas pengaturan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131/2024. Menurut Prianto, meskipun kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, implementasinya dapat membingungkan wajib pajak.

“Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dalam beleid ini diatur cukup beragam, mulai dari harga jual, penggantian, nilai impor, hingga nilai lain. Namun, pengelompokan ini menimbulkan interpretasi yang berpotensi berbeda dalam pelaksanaannya,” ujarnya dalam pesan singkatnya, Rabu (1/1/2024).

Baca Juga

Ia menyoroti terdapat dua skema penghitungan PPN sesuai PMK tersebut. Pertama, PPN sebesar 12 persen diterapkan penuh untuk barang mewah, seperti kendaraan bermotor dan properti mewah, yang juga dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

Kedua, untuk barang atau jasa umum yang tidak dikenakan PPnBM, PPN dihitung dengan tarif efektif sekitar 11 persen dari nilai transaksi. Prianto menilai pendekatan ini, meskipun sesuai dengan revisi UU HPP, dapat menciptakan kebingungan.

“Skema penghitungan PPN menjadi rumit, terutama karena ada dua metode yang harus diterapkan dengan klasifikasi yang berbeda. Ini berpotensi mempersulit wajib pajak dan bahkan otoritas pajak sendiri dalam pengawasan,” katanya.

Ia juga mengkritik penyebutan "PPN 0 persen" oleh Menteri Keuangan untuk barang dan jasa yang sebenarnya dibebaskan atau tidak dipungut. “Istilah PPN 0 persen bisa menyesatkan karena mengaburkan perbedaan antara pengenaan PPN dengan fasilitas pembebasan. Hal ini seharusnya dijelaskan lebih rinci agar tidak terjadi misinterpretasi,” tegas Prianto.

Prianto juga mengingatkan pemerintah perlu berhati-hati dalam implementasi kebijakan ini agar tidak menambah beban administrasi bagi pengusaha. “Dengan kompleksitas penghitungan DPP yang berbeda-beda, pelaku usaha berisiko menghadapi kesulitan dalam kepatuhan administrasi, yang pada akhirnya dapat menghambat kepatuhan pajak secara keseluruhan,” tuturnya.

Meski demikian, ia mendukung langkah pemerintah untuk mempertahankan tarif PPN barang umum pada tingkat efektif yang lebih rendah, yaitu 11 persen. Menurutnya sudah menjadi langkah baik untuk melindungi masyarakat umum dari dampak langsung kenaikan tarif.

"Namun, fokusnya harus pada penyederhanaan dan transparansi kebijakan agar dapat dipahami dan diterapkan dengan baik,” tegasnya.

Prianto pun menyarankan pemerintah untuk segera memberikan sosialisasi dan panduan teknis yang jelas kepada masyarakat dan pelaku usaha, agar kebijakan ini dapat diimplementasikan secara efektif tanpa menimbulkan kebingungan di lapangan.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement