Kamis 13 Feb 2025 15:34 WIB

Cerita Badi

Apakah kata virus memiliki padanan kata dalam bahasa Indonesia? Dosen Teknologi Pangan Universitas Swiss German menelusuri berbagai kamus, lantas ia temukan kata badi. Apa arti badi di dalam KBBI? Ini cerita tentang badi.

Rep: oohya! I demi Indonesia/ Red: Partner
.
Foto: network /oohya! I demi Indonesia
.

Ini cerita tentang badi, yaitu kata di KBBI yang bisa dipadankan dengan virus. Sumber: priyantono oemar

Oleh Abdullah Muzi Marpaung, dosen Teknologi Pangan Universitas Swiss German, narasumber Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa untuk penyusunan istilah Ilmu dan Teknologi Pangan

Belum lama ini, saya dirawat di rumah sakit selama beberapa hari karena mengalami demam tinggi, sakit kepala, dan pegal di seluruh tubuh. Gejala-gejala itu mirip dengan demam berdarah, tetapi meskipun tes darah menunjukkan adanya infeksi virus, hasil tes demam berdarah saya negatif. Hingga dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang, tidak jelas virus apa yang menyerang tubuh saya.

Selama di rumah sakit, untuk mengusir kebosanan, saya mengeksplorasi kata "virus" yang kemudian membawa saya pada kata “badi”. Penelusuran ini membuka wawasan menarik tentang bagaimana bahasa dan budaya merefleksikan pemahaman manusia tentang penyakit. Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) VI Daring terdapat dua lema untuk “badi”.

Lema pertama mencakup tiga arti: (1) pengaruh buruk (penyakit dan sebagainya) yang didapat karena mendekati orang mati, binatang yang terbunuh, atau pohon keramat; (2) kelakuan luar biasa (mirip hewan) yang diperoleh saat dilahirkan; dan (3) zat yang menularkan penyakit, atau virus. Lema kedua berasal dari bahasa Melayu Kepulauan Riau, yang berarti penyakit kulit mengerisik akibat mengonsumsi makanan pantangan atau karena kualat.

Menarik! Rupanya ada padanan dalam bahasa Indonesia untuk "virus"!

Menurut Klinkert (1901), kata badi berasal dari bahasa Sansekerta vadha, yang berarti "pembunuh". Dalam banyak kamus lama, badi dipadankan dengan smetstof (bahasa Belanda), yang berarti agen penyebab infeksi (Pijnappel 1875, Klinkert 1901; Akkerman 1910; van Ronkel 1926; Ridderhof 1936, dan Lameijn 1938) dan).

Lameijn (1938) mendefinisikan badi sebagai "barang jang mendjadikan pendjangkitan (penoelaran)", sementara Ridderhof (1936) menyebutnya sebagai "slechte inwerking van iets" (pengaruh buruk dari sesuatu), seperti air liur anjing gila atau getah beracun tumbuhan. Ini menunjukkan bahwa konsep badi telah lama menjadi bagian dari pemahaman manusia tentang penyakit, meskipun dalam bentuk yang berbeda dari ilmu kedokteran modern.

Wilkinson (1901) memperluas makna badi dengan menyebutkannya sebagai serangan panik, ketakutan tiba-tiba, atau perasaan dihantui oleh kekuatan supernatural. Ia juga menjelaskan frasa "kena badi" (terkena badi) sebagai keadaan ketakutan mendadak dan "membuwang badi" (mengusir badi) sebagai upaya mengusir pengaruh jahat yang menghantui suatu tempat.

Von de Wall (1877) menambahkan bahwa badi adalah pengaruh buruk yang berasal dari berbagai sumber, seperti melihat harimau, melewati pohon beracun, atau melakukan tindakan tertentu. Konsep ini juga ditemukan dalam bahasa Sunda sebagai kabadi, menunjukkan penyebaran pemahaman ini di berbagai wilayah Nusantara.

Dalam perjalanan sejarah bahasa dan kepercayaan, badi berperan sebagai jembatan antara pemahaman tradisional dan ilmu kedokteran modern. Dahulu, badi dikaitkan dengan pengaruh buruk dari lingkungan atau tindakan tertentu, seperti memasuki hutan larangan, menyentuh hewan yang mati secara tidak wajar, atau mengonsumsi makanan tabu.

Di berbagai daerah di Indonesia dan Malaysia, badi sering diyakini sebagai sesuatu yang tidak kasatmata tetapi memiliki dampak nyata bagi kesehatan dan kesejahteraan seseorang. Konsep ini mirip dengan kepercayaan di banyak budaya lain yang menghubungkan penyakit dengan roh atau energi negatif.

Pemilihan kata seperti badi memengaruhi cara masyarakat memahami dan merespons penyakit. Di satu sisi, istilah ini dapat memudahkan komunikasi kesehatan di komunitas yang memegang kepercayaan tradisional. Di sisi lain, pemahaman yang kurang tepat berisiko menghambat upaya pencegahan dan pengobatan berbasis ilmiah, seperti vaksinasi, terutama dalam situasi pandemi.

Badi adalah contoh bagaimana bahasa merekam perubahan pemahaman manusia tentang dunia. Dari kepercayaan tradisional hingga ilmu pengetahuan modern, badi telah berevolusi menjadi konsep yang menarik.

Memahami akar historis dan kulturalnya dapat membantu menjembatani ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai masyarakat. Alih-alih dianggap ketinggalan zaman, badi adalah warisan linguistik yang mencerminkan kekayaan pemikiran manusia dalam memahami penyakit dan dunia di sekitarnya. Boleh jadi karenanya, kita perlu memopulerkan penggunaan kata badi sebagai sinonim dari “virus”.

Daftar Pustaka:

Akkerman, J. W. (1910). Maleisch-Nederlandsch Woordenboek. Batavia: Landsdrukkerij.

KBBI VI Daring. (2016). Entri "Badi". Diakses dari https://kbbi.kemdikbud.go.id

Klinkert, H. C. (1901). Nieuw Maleisch-Nederlandsch Woordenboek. Leiden: Brill.

Lameijn, R. (1938). Maleisch-Nederlandsch Woordenboek. Leiden: Brill.

Pijnappel, J. (1875). Maleisch-Nederlandsch Woordenboek. Amsterdam: Johannes Müller.

Ridderhof, J. (1936). Maleisch-Nederlandsch Woordenboek. Batavia: Landsdrukkerij.

Van Ronkel, Ph. S. (1926). Maleisch-Nederlandsch Woordenboek. Leiden: Brill.

Von de Wall, H. (1877). Maleisch-Nederlandsch Woordenboek. Batavia: Landsdrukkerij.

Wilkinson, R. J. (1901). A Malay-English Dictionary. Kuala Lumpur: Kelly & Walsh.

sumber : https://oohya.republika.co.id/posts/509150/cerita-badi
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement