REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) menjelaskan mengapa pengamanan di lingkungan Korps Adhyaksa lebih mengandalkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) ketimbang Polri. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar membantah asumsi publik yang mengatakan pengandalan militer dalam pengamanan di kejaksaan lantaran tak percaya, dan atau karena ‘tak akur’ dengan kepolisian.
Harli menerangkan, pengamanan kejaksaan oleh TNI harus dilihat dalam perspektif antara kebutuhan, dan dukungan maupun kewenangan yang ada. Menurut Harli, kejaksaan membutuhkan penambahan personel keamanan yang bisa lebih memberikan dukungan terhadap profesionalitas dan independensi Korps Adhyaksa. Kebetulan pula, dikatakan Harli dukungan tersebut terbuka dengan adanya salah-satu kewenangan TNI melalui aturan fungsi, maupun tugas pokoknya itu.
“Bahwa pertanyaan besarnya, apakah TNI memiliki kewenangan untuk melakukan pengamanan itu (di kejaksaan)?” kata Harli saat ditemui di Kejagung, Jakarta, Rabu (14/5/2025).
Menurut dia, dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang (UU) TNI 3/2025 menjelaskan tentang adanya operasi militer selain perang yang menjadi salah-satu tugas pokok TNI. Dan dalam operasi militer selain perang itu terbagi ke dalam belasan jenis kegiatan. Termasuk di antaranya, kata Harli dalam pengamanan objek-objek vital strategis nasional.
“Bahwa TNI dapat melakukan pengamanan terhadap objek-objek vital negara yang bersifat strategis,” kata Harli.
Dan menurut dia, Kejagung, dan kantor-kantor kejaksaan lainnya di seluruh Indonesia merupakan bagian dari objek-objek vital negara yang disebut strategis itu. Harli melanjutkan, dan kebetulan pula pascalahirnya UU Kejaksaan yang baru memberikan penambahan pada struktur di kejaksaan. Yaitu, dengan adanya Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer (Jampidmil).
Keberadaan Jampidmil pada level Kejagung itu, pun diikuti dengan penambahan susunan baru di kejaksaan bawah dengan adanya jabatan-jabatan asisten pidana militer di tingkat Kejaksaan Tinggi (Kejati), dan di Kejaksaan Negeri (Kejari). Di dalam struktur baru tersebut, melibatkan personel-personel militer aktif dari tingkat tertinggi bintang dua, sampai dengan perwira-perwira menengah.
Menurut Harli, masuknya personel-personel militer aktif pada posisi-posisi tertentu di kejaksaan itu, membuat pertalian konstitusional yang dapat bekerja sama dalam penegakan hukum. Jampidmil menangani kasus-kasus pidana koneksitas. Yaitu perbuatan pidana yang pelakunya gabungan antara sipil dan militer. Sedangkan kejaksaan lainnya tetap pada fungsi tugas pokoknya sebagai jaksa penyidik, penuntut, dan eksekutor pelaksana putusan peradilan.
“Dan adanya aturan-aturan tersebut, dikuatkan dengan bentuk MoU antara TNI dan Kejaksaan Agung, yang salah-satu poinnya itu, adalah pengamanan,” ujar Harli.
Dia menegaskan, kerja sama pengamanan tersebut tak sampai menyentuh pada tugas pokok yang utama dari masing-masing intstitusi. “Jadi MoU itu, hanya pengamanan saja. Bukan pada proses penegakan hukum,” ujar Harli.
Markas Besar (Mabes) TNI melalui Kantor Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) menerbitkan surat ST/1192/2025. Surat bertanggal 6 Mei 2025 itu berisikan tentang pengerahan personel TNI dari Angkatan Darat (AD) lengkap dengan peralatan untuk pengamanan di tingkat Kejaksaan Tinggi (Kejati), maupun Kejaksaan Negeri (Kejari) di seluruh Indonesia. Dalam telegram tersebut dikatakan pengamanan TNI di level Kejati berjumlah 1 SST atau setara 30 personel. Dan di tingkat Kejari berjumlah 1 regu atau sekitar 10 personel.
Dalam surat telegram tersebut juga dikatakan, jika bantuan keamanan dari personel AD kurang, otoritas militer darat di masing-masing wilayah untuk berkoordinasi dengan Angkatan Laut (AL), maupun Angkatan Udara (AU). Satuan pengamanan TNI di kantor-kantor kejaksaan tersebut, dikatakan bertugas dengan pola rotasi bulanan. Dan penugasan pengamanan oleh TNI tersebut mulai berlaku sejak 1 Mei 2025.
View this post on Instagram