REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Direktur Jenderal Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) Rafael Grossi mengatakan bahwa program nuklir Iran "mengalami kerusakan besar" setelah serangan AS dan Israel baru-baru ini.
"Serangan yang dimulai pada 13 Juni mengakibatkan kerusakan fisik yang signifikan di tiga lokasi utama: Natanz, Isfahan, dan Fordow—tempat Iran memusatkan sebagian besar kegiatan pengayaan dan konversi uraniumnya," kata Grossi.
Menggarisbawahi bahwa ada fasilitas nuklir lain yang tidak terkena, ia menggambarkan kerusakan yang ada "sangat signifikan."
"Memang benar bahwa, dengan kapasitasnya yang berkurang, akan jauh lebih sulit bagi Iran untuk melanjutkan (program nuklir) dengan kecepatan yang mereka pertahankan," ujarnya.
Grossi juga mengatakan, bahwa sentrifus di fasilitas nuklir Fordow "tidak lagi beroperasi". "Kami tidak dapat menilai sepenuhnya, dan tidak seorang pun dapat mengatakan dengan pasti seberapa parah kerusakannya. Namun, kami telah mengetahui bahwa, mengingat kekuatan senjata tersebut dan karakteristik teknis sentrifus, kami tahu bahwa sentrifus ini tidak lagi beroperasi,” katanya.
“Ini adalah mesin dengan posisi yang rumit—ada rotor, ada komponen—jadi kerusakannya pasti total," jelas Grossi, menambahkan.
Ketika ditanya tentang keputusan Iran untuk menghentikan kerja sama dengan IAEA, Grossi menyuarakan "kekhawatiran besar," dan menekankan bahwa Iran tidak dapat menangguhkan kerja sama mereka "secara sepihak."
“Kehadiran IAEA di Iran bukan karena kemurahan hati. Ini adalah tanggung jawab internasional. Iran adalah penanda tangan Perjanjian Non-Proliferasi, dan karenanya, harus tunduk pada sistem inspeksi," ucapnya.
Ia lebih lanjut menegaskan akan adanya konsekuensi jika Iran menolak memberikan akses bagi pemeriksa. “Ada kemungkinan dialog akan dilanjutkan, inspeksi akan dilanjutkan,” kata dia.