Sabtu 28 Jun 2025 17:33 WIB

Dokter Tan Ajak Orang Tua Mengenal MPASI Sesuai Tahap Perkembangan Anak

Ia tak menepis bahwa ini merupakan titik krusial yang masih sering diabaikan. Jika pe

Rep: Wulan Intandari/ Red: Fernan Rahadi
Dokter sekaligus pakar gizi masyarakat dr Tan Shot Yen, saat mengedukasi para peserta terkait MPASI yang baik dan benar melalui seminar yang digelar di RS AMC Yogyakarta, Sabtu (26/6/2025).
Foto: Wulan Intandari
Dokter sekaligus pakar gizi masyarakat dr Tan Shot Yen, saat mengedukasi para peserta terkait MPASI yang baik dan benar melalui seminar yang digelar di RS AMC Yogyakarta, Sabtu (26/6/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI) adalah salah satu momen krusial dalam tumbuh kembang anak. Sayangnya, banyak orang tua masih merasa gamang, bahkan frustrasi, saat anak menolak makan. Menjawab kegelisahan itu, Sanggar ASI berkolaborasi dengan RS AMC Muhammadiyah Yogyakarta menggelar seminar bertajuk 'Anak Menolak Makan? Belum Tentu Salah Makanannya', Sabtu (28/6/2025).

Seminar ini dihadiri oleh 85 peserta dari berbagai latar belakang, orang tua, tenaga kesehatan, hingga pegiat tumbuh kembang anak. Yang istimewa, acara ini menghadirkan langsung dr Tan Shot Yen, seorang dokter dan ahli gizi masyarakat yang dikenal vokal dalam edukasi nutrisi dan pola makan sehat keluarga.

Saat dijumpai, CEO Sanggar ASI, Raisika Riyanto, menekankan bahwa keberhasilan MPASI bukan hanya tentang anak mau makan, tapi juga tentang mencegah masalah serius jangka panjang seperti stunting.  

MPASI adalah salah satu pilar dalam empat NIB (Nutrisi, Imunisasi, dan Berkelanjutan), yaitu ASI eksklusif selama enam bulan, MPASI yang benar, dan ASI dilanjutkan hingga usia 2 tahun atau lebih. Semua ini merupakan bagian dari standar emas gizi baik yang harus diperjuangkan, terutama dalam mencegah masalah gizi kronis seperti stunting.

Ia mengatakan acara ini menjadi ruang edukasi ilmiah yang penting, dihadiri lebih dari 80 peserta dari wilayah DIY, meliputi orang tua, kader posyandu, tenaga kesehatan, dan pegiat tumbuh kembang anak.

"Kami percaya bahwa setiap anak berhak tumbuh dalam lingkungan yang penuh kasih dan pengertian, termasuk saat makan. Tantangan makan bukan sekadar soal nutrisi, tapi soal hubungan dan komunikasi. Seminar ini kami hadirkan agar para orang tua merasa tidak sendirian dan mendapat bekal ilmu yang ilmiah sekaligus membumi,” ungkap Raisika, Sabtu.

Raisika menyebut fase MPASI itu pada usia 6 hingga 12 bulan. Ia tak menepis bahwa ini merupakan titik krusial yang masih sering diabaikan. Jika pemberian MPASI dilakukan dengan cara yang salah, lalu terus berlanjut ke makanan keluarga yang juga salah pola maupun gizinya, maka gangguan gizi kronis bisa terjadi. Inilah yang menjadi akar dari stunting. Periode 1000 hari pertama kehidupan adalah waktu emas yang harus dijaga dengan edukasi, kesadaran, dan praktik pemberian makan yang benar.

"Jadi fase MPASI ini dibilang terpenting juga untuk mencegah stunting. Ini harus diperhatikan. Kita tidak berharap misalnya dari orang lain untuk memberi izin kepada kita, tetapi di rumah dong. Gizi dimulai di rumah," ucapnya.

Selain MPASI, Raisika juga menyoroti pentingnya kembali memahami ASI sebagai standar emas, dan menanggapi kekhawatiran umum para ibu yang merasa produksinya kurang. Ia menyebut bahwa ASI bukan hanya cairan, tetapi ada kandungan sel hidup yang tidak bisa digantikan oleh apapun. Sehingga melalui seminar ini  harapannya bukan hanya ruang diskusi, tetapi titik awal gerakan perubahan pola pikir soal gizi anak. Sanggar ASI, melalui edukasi seperti ini, menekankan bahwa gizi bukan hanya angka dan resep, melainkan tentang kesadaran kolektif keluarga untuk memberikan yang terbaik bagi anak sejak awal kehidupannya.

"Kami juga ingin mengedukasi ibu sejak hamil kalau ingin sukses menyusui, tidak usah menyediakan dot di rumah. Kami ingin mengembalikan kalau menyusui ya sudah langsung menyusui, karena hakikinya perbedaan mendasar kenapa ASI disebut gold standard adalah karena sel hidup yang ada di ASI. Kalau dikeluarkan, kualitasnya berkurang," ujarnya.

Dalam paparannya, dr Tan menekankan bahwa MPASI yang benar mencakup tiga pilar utama yaitu kualitas makanan, kesiapan anak, dan cara pemberian makan. Namun, kegelisahan umum para orang tua sering kali terfokus pada resep atau variasi menu, bukan pada fondasi yang lebih penting.

"Anak susah makan itu adalah tantangan di usia pertumbuhan. Kita tahu bahwa bangsa Indonesia ini punya challenge yang namanya stunting. Banyak orang yang mengatakan stunting itu pendek, ada juga mengatakan stunting itu gagal tumbuh. Di luar sana banyak sekali yang teriak saya gagal jadi orang tua. Enggak ada yang namanya gagal tumbuh," kata dr Tan.

"Nggak usah neko neko, nggak usah scroll scroll akunnya Aurel Hermansyah, Nikita Willy, wis toh. Kalau nggak bisa mengikuti (cara MPASI mereka) secara totalitas tidak usah aneh-aneh," ucapnya menambahkan.

Di tengah kekhawatiran umum akan anak yang susah makan itu, dr Tan mengajak peserta untuk melihat akar masalahnya secara lebih bijak dan menyeluruh. Ia membongkar mitos lain yang kerap membuat orang tua stres bahwa MPASI adalah soal menu apa yang harus dimasak. Menurutnya, fase MPASI adalah fase penting untuk membangun relasi anak dengan makanan, bukan sekadar memasukkan kalori ke dalam tubuh kecilnya.

"MPASI bukan hanya soal tekstur dan gizi, tetapi juga tentang relasi anak dengan makanan. Ketika anak menolak makan, jangan buru-buru menyalahkan makanannya. Bisa jadi, yang perlu diperbaiki adalah cara kita mengajak makan," ucapnya menambahkan.

Ia juga mencontohkan salah satu kekeliruan umum dalam memberi makan pertama kali pada anak adalah terlalu cepat menggunakan sendok. Ini, menurut dr. Tan, bisa memicu reaksi seperti melepeh, yang sering dianggap anak tidak suka makanannya.

"Bukan dilepeh, itu refleks menyusu yang masih tertinggal pada anak yang baru mau belajar makan. Makanya tak kandani (saya beri tahu-Red) kalau baru memulai memberikan MPASI nggak usah pakai sendok. Mulai memberikan makan dengan dicolek pakai jari. Karena jari ibu ini tidak akan menyendok sebanyak pakai sendok," ungkapnya.

Lebih lanjut, ia berharap seminar ini bisa mengubah cara pandang peserta dalam melihat proses makan anak. Bagi dia, MPASI bukan sekadar tentang menu kekinian, bukan soal makanan mahal, tetapi tentang kasih sayang, responsivitas, dan ketepatan ilmu.

"Setiap anak adalah titipan. Kalau kita memberi makan dengan cara yang benar, saat responsive feeding di mana orang tua memberikan makan sesuai respon lapar dan kenyang anak, tidak bikin trauma, tidak diahlikan dengan jurus tipu-tipu. Tidak diahlikan dengan tontonan, tidak diintervensi keluarga besar (kakek, nenek, ipar) dan tetangga yang memberikan makan atau ngemil, termasuk menggunakan cara menyuap yang sama, kadang anak lebih nyaman disuap dengan tangan," ucapnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement