REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada masa pra-Islam atau yang dikenal dengan periode Jahiliyah, hari yang kini disebut Jumat memiliki nama yang berbeda, yaitu Yaum al-‘Arubah (يوم العروبة).
Nama ini berasal dari tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab Jahiliyah yang mengaitkan hari tersebut dengan berbagai aktivitas sosial dan kebanggaan diri. Sebutan ini mencerminkan mentalitas dan budaya masyarakat Arab. Pada saat itu mereka seringkali mengutamakan keunggulan suku, kekayaan, dan kemolekan fisik.
Yaum al-‘Arubah berasal dari dua akar kata, yaitu ‘arab yang berarti "terbuka" atau "terlihat", dan ‘araba yang bermakna "berhias diri" atau "berkasih sayang". Ini menunjukkan bahwa hari tersebut adalah hari orang-orang Arab keluar dan menampilkan diri mereka, baik melalui penampilan, kekayaan, maupun bakat. Pameran ini menjadi bagian penting dari ritual sosial mereka, yang sering kali berujung pada rasa bangga dan kepongahan.
Pada hari ini, pasar-pasar ramai dikunjungi oleh para pedagang untuk memamerkan hasil dagangan mereka. Para penyair dan orator juga memanfaatkan momen ini untuk membacakan karya-karya mereka, menampilkan kemampuan retorika dan keindahan bahasa mereka di hadapan publik.
Pertemuan-pertemuan ini menjadi ajang persaingan. Setiap individu berusaha untuk menunjukkan keunggulan dirinya atau suku mereka. Selain pameran seni dan perdagangan, Yaum al-‘Arubah juga menjadi hari untuk berbangga-bangga dan bermegah-megahan.
Masyarakat Arab pra-Islam, yang hidup dalam struktur kesukuan yang ketat, memanfaatkan kesempatan ini untuk memperlihatkan status dan kehormatan. Mereka akan memakai pakaian terbaik, memakai wewangian, dan menonjolkan kekayaan serta kekuatan suku mereka di depan khalayak ramai.
Tradisi ini juga diwarnai dengan praktik-praktik paganisme. Banyak kegiatan yang dilakukan berkaitan dengan ritual penyembahan berhala yang tersebar di wilayah Arab.