REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Lendir lele berhasil diubah jadi obat untuk perawatan mulut kering bagi pasien yang menjalani terapi kanker nasofaring. Terobosan ini berasal dari tangan-tangan kreatif mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM).
Mereka adalah Zipora Silka Yoretina (FKG), Deaoxi Renaschantika Djatumurti (FKH) dan Roissaturi Nasikah (Fakultas Farmasi). Terobosan ini sekaligus menjadi pengembangan dari penelitian-penelitian beberapa tahun lalu.
"Sejumlah penelitian terdahulu menyebutkan lendir lele lokal (Clarias batrachus) mengandung senyawa yang berkhasiat sebagai agen antimikroba untuk melawan jamur dan bakteri," kata Deaoxi beberapa waktu lalu.
Dalam lendir lele terdapat kandungan claricin, hepciin dan beberapa protase pendukung. Menurut Deaozi, merekalah yang bertugas sebagai agen antimikroba pertahanan primer melawan bakteri dan jamur.
Clarisamin, obat untuk perawatan mulut kering bagi pasien yang baru menjalani terapi kanker nasofaring. Obat memiliki bahan dasar lendir lele yang dikembangkan tiga mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM).
Walau hidup di perairan keruh dan berlumpur, hewan ini mampu mempertahankan diri dari infeksi bakteri maupun jamur. Melihat kandungan yang ada, mereka mencetuskan ide memanfaatkannya jadi obat pasca terapi kanker nasofaring.
Pasien kanker nasofaring yang menjalani kemoterapi maupun radioterapi kerap mengalami efek samping kerusakan mukosa oral. Hal ini yang mengakibatkan penurunan produksi air liur atau saliva.
Kondisi itu menyebabkan pasien mengalami nyeri telan, dan merasakan sensasi terbakar. Bahkan, meningkatka resiko infeksi jamur Candida albicans dalam rongga mulut, sehingga rawan terjadi kanadiasis.
Zipora mengatakan, kondisi ini sebenarnya bisa ditangani dengan pemberian saliva buatan. Namun, produk komersial saliva buatan yang beredar di luar negeri masih memakai bahan mucin lambung babi.
"Ini kurang cocok bagi masyarakat Indonesia dengan mayoritas Muslim, sehingga kami berinovasi menciptakan formulasi saliva buatan dengan bahan alam yang dapat diterima baik masyarakat Indonesia," ujar Deaoxi.
Dari bentuk fisik, lendir lele terlihat memiliki kekentalan menyerupai saliva manusia. Karenanya, mereka memanfaatkannya menjadi saliva buatan, dengan bimbingan dari Hendri Susanto.
Hasil uji menunjukkan kalau saliva buatan lendir lele mampu menghambat pertumbuhan candida, lebih baik daripada obat yang ada di pasaran. Diameter zona hambat 20 uL saliva buatan 17 persen mencapai 13 milimeter.
Nystatinnya cuma 10,69 dengan volume yang sama dengan metode disk diffusion. Tegangan permukaan terbentuk menujukkan sudut kontak saliva buatan dengan glass slide mendekati sudut kontak saliva alami, diuji dengan cara serupa.
Meski begitu, pH larutan terbilang masih rendah yang berkisar 3,67, dengan pH saliva alami manusia normal sekitar 6,39. Namun, tiga mahasiswa ini mampu memiliki solusinya.
"Hal ini bisa di atasi dengan penambahan essence atau senyawa aromatik pendukung," kata Roissatun.
Saat ini, penelitian yang dilakukan ketiganya masih dalam tahap pre klinis secara in vitro. Ke depan, mereka akan terus melakukan penelitian lanjutan untuk pengujian in vivo dan uji klinis.
"Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pioner untuk produksi obat perawatan mulut kering dengan bahan alam Indonesia, yang dapat diterima dengan baik di masyarakat," ujar Roissatun.