REPUBLIKA.CO.ID, Apakah ide pesawat mata-mata tanpa awak (drone) membuat anda gugup? Ataukah anda merasa tidak nyaman dengan imajinasi mata robotik tanpa kedip di udara yang dapat memantau setiap gerakan anda?
Jika demikian kisah ini bisa membuat anda lebih tak tenang. Tentara AS kini tengah menuju mewujudkan gagasan tersebut. Sebuah pesawat tanpa awak yang tak hanya mampu mengamati apa yang anda lakukan tetapi juga mengenali wajah anda dan melacak anda berdasar bentuk wajah nada.
Jika mesin militer itu mampu mengumpulkan dan merangkai cukup informasi, mereka bisa jadi mampu menebak isi benak anda.
Pentagon telah mencoba segala trik untuk senantiasa memutakhirkan data musuh-musuh mereka saat mereka bergerak, mulai dari transmiter mungil, aroma yang melingkupi tubuh mereka, bahkan sidik jari berdasar panas tubuh. Militer menyebut upaya itu "Tagging, Tracking and Locating" atau "TTL"
TTL kian menjadi pusat dari upaya militer AS. Ratusan juta dolar bahkan telah dikucurkan khusus demi mengembangkan teknologi tersebut.
Hanya saja, teknologi terkini memiliki batas. Transmiter dapat ditemukan dan dihancurkan. Aroma pada akhirnya bisa menghilang. Bahkan membuntuti bisa gagal bila dalam kerumunan.
Tapi ada beberapa data yang tak mungkin dihapus. Seperti bentuk dan kontur wajah anda, atau perasaan yang anda simpan. Itulah yang kini tengah diutak-atik oleh militer AS lewat puluhan kontrak dengan perusahaan senjata demi menemukan wajah dari atas, melacak target dan bahkan menandai atau menangkap 'maksud yang berubah'.
”Bila riset ini berhasil. Kita akan memiliki kemampuan untuk melacak orang secara tetap dan konsisten dari area luas," ujar pimpinan riset biometrik, Tim Faltemier, dari Progeny System Corporation, yang baru saja memenangkan kontrak dengan angkatan darat AS. "Seseorang bisa lewat di bawah jembatan atau masuk berlindung di rumah. Namun ketika keluar kita akan tahu bahwa ia adalah orang yang sama saat masuk."
Perusahaan itu adalah satu dari beberapa firma yang telah membangun algoritma bagi militer yang menggunakan citra dua dimensi untuk mengonstruksikan model wajah 3D dimensi. Menurut Tim, bukan hal mudah untuk mendapat data kontur wajah tersebut meski dengan pencahayaan tepat dan subyek diam yang sukarela untuk dipindai. Membentuk model wajah seseorang yang berlari jauh lebih sulit lagi.
Menghasilkan model dengan menggunakan kamera resolusi rendah yang mampu berayun, terbang, memutar ke kanan, kiri, atas bawah yang melekat pada pesawat tanpa awak juga masih bakal sulit. Namun upaya itu bisa menghasilkan nilai luar biasa besar bagi militer. "Bila berhasil, riset ini akan mengatasi keterbatasan operasi TTL, di mana objek yang ditarget kadang hanya terlihat beberapa kali bahkan jarang keluar dari ruang atau sering berada dalam kerumunan.
Dan bila sistem tak bisa cukup dekat untuk melihat wajah target, Progeny memiliki cara lain untuk mengidentifikasi mangsanya. Kuncinya pada teknologi digital stereotyping yang dikembangkan dibawah kontrak AL.
Menggunakan satu set data 'biometrik lunak' mulai dari usia, gender, etnisitas, warna kulit hingga berat badan dan tinggi, sistem itu bisa memantau jejak target dalam jarak yang mustahil dilakukan dengan pengenalan wajah. Menurut Tim, jarak itu sekitar 250 meter lebih.
Namun bila Progeny bisa cukup mendekat, Tim mengatakan teknologinya bahkan bisa membedakan dengan jelas dua kembar identik. Dengan didukung angkatan darat, periset dari Notre Dame dan Michigan State University ini mengumpulkan data wajah-wajah pada festival "Twin days"
Progeny lalu membagi dang menghitung berdasar tanda-tanda tubuh, luka, tato yang dimiliki si kembar dan mampu membedakan satu dari yang lain. Perusahaan mengatakan piranti lunak mereka tak hanya membantu militer dalam soal mempelajari dan mengidentifikasi subjek, tetapi juga mengasosiasikan mereka dengan kelompok sosial tertentu. Semakin nervus?