REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Indonesia idealnya membutuhkan 200.000 peneliti di berbagai bidang untuk bisa mengejar ketertinggalan kemajuan teknologi dari negara lain.
Hal ini diungkapkan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Lukman Hakim saat membuka seminar ilmiah, temu industri dan pameran "Annual Meeting on Testing and Quality" (AmTeQ) di Universitas Airlangga, Rabu (23/10).
"Sekarang ini jumlah peneliti yang ada di Indonesia masih kecil dan tidak seimbang dengan jumlah pendudukn" kata Lukman Hakim.
Menurutnya, saat ini sumber daya manusia ilmu dan pengetahuan, khususnya peneliti Indonesia yang terdaftar di LIPI sebanyak 8.000 orang dan 16.000 peneliti bekerja di perguruan tinggi.
Sedangkan peneliti yang berada dibawah naungan institusi swasta, dia mengatakan, belum dapat dipastikan jumlahnya.
Lukman menilai jumlah peneliti tersebut tentu saja terlalu kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mendekati 240 juta jiwa.
Dia memberi contoh, Belarusia sebuah negara kecil di Eropa saja memiliki 36 peneliti per 10.000 penduduk, sementara Indonesia masih pada komposisi satu peneliti per 10.000 penduduk.
Dikatakan pula, padahal ilmu pengetahuan selama ini dipercaya sebagai tulang punggung negara maju untuk memenangkan persaingan, baik ekonomi maupun politik.
"Negara-negara maju menyadari peran penelitian ilmu pengetahuan dalam mengembangkan daya saing industri untuk pertumbuhan ekonominya," katanya.
Salah satu peneliti LIPI menyatakan Indonesia saat ini masih menjadi "raksasa sedang tidur", meski dari sisi PDB sudah masuk dalam 16 besr dunia, bahkan 25 tahun lagi masuk 10 besar kekuatan ekonomi dunia.
Namun tekad itu tetap sebatas impian apabila tidak diikuti kemampuan riset dan teknologi, serta pembiayaan riset yang memadai.
"Oleh sebab itu jumlah peneliti harus diperbanyak karena dengan jumlah peneliti yang masih sedikit sekarang ini dinilai tidak wajar," kata dia.