REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil berpendapat pemerintah dan seluruh stakeholders industri telekomunikasi harus berpartisipasi dan bertanggung jawab menyelamatkan PT Axis Telekom Indonesia (Axis) dari kebangkrutan.
Menurut Sofyan, kondisi Axis saat ini sangat sulit, terutama dari aspek keuangan, sehingga harus diselamatkan. “Terlepas dari kemungkinan adanya kekeliruan dalam penyusunan rencana bisnis di Axis, Pemerintah harus bertanggung jawab untuk mencarikan jalan keluarnya,” kata Sofyan, di Jakarta, Rabu (19/2).
Menurut catatan Kementerian Komunikasi dan Informatika, tiap tahun Axis merugi Rp 2,3 triliun dan sempat menunggak pembayaran kewajiban Bea Hak Frekuensi (BHP) Frekuensi kepada pemerintah.
Sofyan menyatakan, penyelamatan Axis menjadi salah satu tanggung jawab pemerintah, sebab pada awalnya, pemerintah yang mengeluarkan kebijakan mengundang investor asing di sektor telekomunikasi.
“Kebijakan entry bagi investor asing harus disiapkan juga mekanisme exit-nya. Keberadaan STC, sebagai pemegang 80,1 persen saham Axis di Indonesia merupakan respons dari kebijakan Pemerintah RI berkaitan dengan investasi asing,” tutur Sofyan.
Sofyan menambahkan, merger dan akuisisi merupakan solusi tepat untuk menyelamatkan Axis dari kebangkrutan. Demi kepentingan nasional dan suksesnya pembangunan nasional melalui partisipasi investor asing, serta menjaga kehormatan bangsa dan negara di kancah internasional, lanjut Sofyan, maka merger harus didukung sepenuhnya oleh semua pihak.
“Kesediaan XL untuk mengambil alih serta merger dengan AXIS, merupakan solusi yang sangat tepat dalam rangka memberikan jalan investor asing untuk exit sekaligus menghindari kerugian Pemerintah dari tunggakan PNBP. Jadi sudah seharusnya Pemerintah sepenuhnya mendukung,” papar Sofyan.
Presiden Direktur dan CEO Axis, Erik Aas saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR pekan lalu, menegaskan bahwa akuisisi Axis oleh XL merupakan langkah tepat untuk mengatasi kesulitan keuangan operasional perusahaan.
“Sejak awal tahun 2013, pemegang saham perusahaan sudah tidak lagi mengucurkan dana sehingga Axis mengalami kesulitan aspek keuangan termasuk membayar BHP Frekuensi,” kata Erik.