Kamis 04 Feb 2016 13:45 WIB

Rusuh Sorong Dipicu Aksi Balas Dendam

Red: Muhammad Subarkah
Aktivitas pembangunan terminal modern Bandara Domine Eduard Osok, Sorong, Papua, Jumat (5/6).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Aktivitas pembangunan terminal modern Bandara Domine Eduard Osok, Sorong, Papua, Jumat (5/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tokoh Papua Barat Jimmy Demianus Idjie mengatakan, kerusuhan Sorong memang terjadi pada Selasa malam (3/2). Konflik itu terjadi antara kelompok masyarakat asal suku di Maluku (Kei) dan kelompok masyarakat asli Papua yang berasal dari suku Maybart.

''Saya dapat laporan dari istri saya bila rusuh di Sorong terjadi semalam. Tapi, tampaknya ini konflik lanjutan dari peristiwa keributan yang terjadi beberapa bulan sebelumnya. Saat itu, ada orang Kei tewas dalam keributan yang dipicu dari soal penagihan janji pemenuhan gaji. Jadi, aksi ini balasan dari warga Kei kepada warga asli Papua, suku Maybrat,'' kata Jimmy ketika dihubungi Republika.co.id.

Jimmy mengatakan, sebagai salah satu pusat pertumbuhan ekonomi di kawasan Indonesia Timur dan wilayah Papua, Kota Sorong memang memiliki potensi cukup tingi untuk meletupkan berbagai kasus kerusuhan. Selama ini, aksi kekerasan kerap timbul antara masyarakat asli Papua dan para warga pendatang asal Makassar, Buton, dan Maluku. Potensi meletupnya kerusuhan makin tinggi karena banyak para mantan pelaku kerusuhan di wilayah lain di luar Papua menetap di Sorong.

''Kalau konflik antara warga asli dan para pendatang itu--pendatang asal Makassar, Buton, Maluku--selalu terkait dengan persoalan ekonomi. Sedangkan, kalau konflik dengan pendatang dari Jawa (kaum transmigran) adalah soal tanah. Jadi, itulah potensi letupan konfliknya,'' ujar Jimmy kembali.

Melihat potensi itu, lanjutnya, mau tidak mau pemerintah dan para pihak terkait, khususnya aparat keamanan, harus waspada dan sigap mengatasi keadaan bila situasi buruk terjadi.

''Khusus kepada pihak Kementerian Pertanahan, harus segera bisa mengantisipasi konflik tanah antara warga asli Papua dan para pendatang dari Jawa yang dahulu ikut program transmigrasi. Persoalan ini lebih serius karena melibatkan soal tanah adat dan keberadaan wilayah suku-suku yang ada di Papua,'' ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement