Senin 20 Feb 2017 08:02 WIB

Dari Mana Asalnya Stigma Pribumi Pemalas?

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Ilham
Buruh petani  (ilustrasi)
Foto: Mahmud Muhyidin
Buruh petani (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Asia Tenggara asal Prancis, Denys Lombard, menulis Le Carrefour Javanais (Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu) sebagai karya puncaknya. Di sana, Lombard antara lain menyebutkan cara pandang kolonialisme terhadap masyarakat pribumi. Para pejabat kolonial dahulu tidak habis pikir, mengapa orang Pribumi banyak membuang-buang waktu dengan bersantai, alih-alih menyelesaikan pekerjaannya.

Yang dimaksud dengan “pekerjaan” tentunya dalam perspektif kolonial juga. Atas dasar itu, Lombard menyimpulkan, perangai demikian sebenarnya bukanlah sifat inheren masyarakat pribumi. Bila inheren maka hadir atau tidaknya kolonialisme di Nusantara tetap saja Pribumi pemalas.

Analisis yang lebih luas ditulis sosiolog sekaligus politikus Syed Hussein Alatas dalam bukunya, Mitos Pribumi Malas (1977). Presiden Indonesia keempat, almarhum Gus Dur, misalnya, diketahui senang mengutip buku ini dalam berbagai kesempatan.

Tokoh Malaysia kelahiran Bogor, Jawa Barat, itu berargumen, apa yang dianggap penguasa kolonial sebagai tabiat pemalas dari masyarakat pribumi justru merupakan bentuk perlawanan terhadap kolonialisme. Dalam kajiannya, definisi pribumi termasuk orang Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Namun, paparan singkat ini berfokus pada Indonesia.

Syed Hussein menemukan, dokumen Belanda sejak abad ke-17 hingga ke-18 amat sedikit menyinggung kemalasan pribumi. Baru setelah diterapkannya sistem Tanam Paksa, mulai muncul tuduhan dari kolonial betapa pemalasnya masyarakat pribumi, utamanya Jawa.

Sistem tersebut memungkinkan Belanda mengatur langsung tenaga kerja Jawa. Mereka dipaksa menanam berbagai jenis tanaman yang bernilai ekspor tinggi dengan target-target yang sangat membebani.

Perang Diponegoro (Belanda menyebutnya: Perang Jawa) yang berlangsung pada 1825-1830 memicu Belanda untuk menerapkan Tanam Paksa. Perang sedahsyat itu sebelumnya tidak pernah dihadapi Belanda di Jawa.

Korban jiwa mencapai 200 ribu orang Jawa dan 8.000 tentara totok Belanda. Tak kurang dari 20 juta gulden Belanda habis demi memadamkan perjuangan Pangeran Diponegoro. Demikian catatan sejarawan Peter Carey dalam bukunya, The Power of Prophecy (hlm. xi).

Untuk menyelamatkan kas Belanda, Amsterdam memberikan kepemimpinan Hindia kepada figur yang lebih keras, Gubernur Jenderal Van den Bosch. Sistem Tanam Paksa mulai diberlakukan dalam masanya. Sejak saat itu, hubungan menjadi begitu timpang antara penjajah dan yang terjajah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement