Senin 20 Feb 2017 08:02 WIB

Dari Mana Asalnya Stigma Pribumi Pemalas?

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Ilham
Buruh petani  (ilustrasi)
Foto:
Buruh petani (ilustrasi)

Tuduhan-tuduhan yang tak mendasar kian gencar tertuju kepada masyarakat Jawa. Van den Bosch sendiri membuat stigma bahwa nalar bangsa Jawa tak ubahnya bocah Belanda usia 12 atau 13 tahun!

Di Belanda, pendukung Tanam Paksa umumnya kaum konservatif. Mereka menyandarkan argumen pada dua hal. Pertama, pemerintah kolonial hanya bisa mengirimkan keuntungan yang besar kepada Belanda melalui penerapan Tanam Paksa. Kedua, pekerjaan di Jawa selalu harus dipaksakan. Artinya, masyarakat Jawa secara inheren adalah pemalas.

Untuk mendebat kaum liberal, pemuka konservatif bahkan mengarang klaim yang tak masuk akal, yakni masyarakat Jawa lebih suka kerja paksa daripada kerja bebas. Orang Jawa lebih bahagia ditindas daripada bebas menentukan pilihannya sendiri.

Sementara itu, di Jawa, pemerintah kolonial begitu keras menghukum pemimpin-pemimpin lokal yang dinilainya 'pemalas'. Padahal, pada intinya mereka hanya enggan mengikuti sistem Tanam Paksa.

Dalam masa inilah seorang humanis Belanda, Eduard Douwes Dekker, menulis novel fenomenal, Max Havelaar (1860). Syed Hussein berpendapat, karya ini melawan mitos pribumi malas.

Multatuli (begitu nama samarannya) mempertanyakan mengapa bukan orang Eropa yang tinggal di koloni bekerja di perkebunan-perkebunan komoditas ekspor? Mengapa harus tenaga kerja pribumi yang melakukannya? Bukankah, misalnya, para tentara totok Belanda menjalani kehidupan yang keras pula di Jawa, sehingga dapat dikatakan terbiasa 'kerja paksa'?

Ideologi kolonial membuat orang totok Belanda, siapapun ia, merasa superior terhadap Pribumi. Karena itu, pemerintah kolonial mengandalkan semata-mata tenaga kerja pribumi untuk menjalankan Tanam Paksa. Keuntungan membanjiri Belanda, sedangkan Jawa kian terpuruk dalam sistem kapitalisme global.

Keengganan pribumi untuk menjalankan Tanam Paksa dipandang sebagai kemalasan. Menurut Multatuli, reaksi masyarakat Jawa yang acuh tak acuh terhadap kerja paksa sebenarnya merupakan protes diam-diam terhadap pemerintah kolonial. Ada harga diri Pribumi di balik “kemalasan” mereka.

Dengan mitos pribumi malas, penguasa kolonial berusaha menyuburkan mental jongos sekaligus memudarkan mental pejuang atau entrepreneurship masyarakat Pribumi.

“Mereka (kolonial) mempertalikannya dengan ciri-ciri pribumi yang mereka ciptakan sendiri. Setelah kekuatan kolonial melindas golongan pedagang pribumi terkemuka, pribumi dituduh tidak berminat dalam perdagangan,” tulis Syed Hussein (hlm. 283, bagian penutup). 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement