Ahad 08 Jul 2018 04:19 WIB

Menjadikan Pilpres Seperti Piala Dunia

Berikan hak rakyat untuk mendapatkan banyak pilihan

Red: Joko Sadewo
Bayu Hermawan
Foto: dok. Pribadi
Bayu Hermawan

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bayu Hermawan*

Masyarakat Indonesia baru saja melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak 2018. Kini rakyat Indonesia bersiap menyambut pesta demokrasi yang lebih besar yakni pemilihan umum dan pemilihan presiden tahun 2019, yang untuk pertama kalinya digelar serentak juga.

Meski belum ada keputusan resmi, namun hasil pilkada sudah cukup tergambar melalui proses hitung cepat (quick count) yang digelar sejumlah lembaga survei. Satu catatan yang menarik buat saya, bukan masalah parpol mana yang paling banyak menang di pilkada. Sebab hal itu jika mau jujur sulit diukur, karena hampir di seluruh daerah yang menggelar pilkada, tidak ada satu parpol pun yang mengusung sendiri calonnya alias harus berkoalisi.

Yang menarik adalah, ternyata banyak calon-calon kepala daerah, baik itu calon kepala daerah di tingkat provinsi hingga kabupaten kota, yang menjadi pemenang adalah orang-orang di luar parpol. Sebut saja di Jawa Barat, dimana Ridwan Kamil berdasarkan hitung cepat unggul. Padahal, Ridwan Kamil harus bertarung dengan Syaikhu, Dedi Mulyadi, hingga TB Hasanuddin yang merupakan kader-kader partai.

Hasil ini menarik jika dikaitkan dengan ajang pilpres, khususnya terkait aturan ambang batas pencapresan (presidential threshold). Seperti diketahui, saat ini aturan ambang batas pengajuan calon presiden dan cawapres tengah kembali digugat oleh sejumlah tokoh.

Mengacu pada hasil sementara pilkada serentak, parpol-parpol yang menjadi 'jagoan' di pemilu 2014, ternyata tidak mendominasi kemenangan di daerah-daerah. Sehingga fakta yang muncul adalah masyarakat saat ini memilih calon kepala daerah bukan berdasarkan diusung oleh parpol tertentu. Masyarakat memilih murni karena faktor ketokohan si calon.

Menurut saya, hal ini juga akan berlaku pada pilpres 2019. Masyarakat masih tetap memilih calon presiden berdasarkan ketokohan. Saya yakin, jika Jokowi, yang saat ini elektabilitasnya masih menjadi yang tertinggi, maju di pilpres 2019 peluang kemenangan besar. Bahkan kalaupun tidak melalui PDIP, peluang menang Jokowi  masih tetap besar.

Jika melihat hal itu, maka apakah ambang batas pengajuan capres 2019 sebesar 20% dari kursi DPR atau 25% suara sah nasional pemilu legislatif tersebut, masih relevan?.

Kalaupun ambang batas pilpres dihapuskan, apakah semua parpol akan mencalonkan kadernya masing-masing?. Saya yakin tidak semua parpol lantas mengusung kader-kadernya masing-masing. Parpol pasti akan memiliki banyak pertombangan dalam mengusung seorang capres. Adapun beberapa pertimbangannya:

Pertama, mahalnya biaya kampanye. Parpol pasti berhitung kekuatan logistiknya masing-masing, jika di pilkada serentak saja parpol masih mencari mitra koalisi untuk ongkos politik dan kampanye, bagaimana ditingkat nasional.

Kedua, parpol juga tetap mencari tokoh-tokoh yang berpotensi besar untuk menang. Tentu parpol tidak akan sembarangan mengusung calon, dan tidak akan membuang tenaga serta biaya percuma hanya untuk mengusung calon yang sulit untuk menang. Yang terjadi, koalisi parpol akan tetap ada, namun koaisi yang akan terbentuk akan seimbang, karena masing-masing parpol mempunyai kedudukan yang sama, dan politik transaksional pun sulit terjadi.

Terakhir, seperti diketahui calon presiden yang diusung juga akan membantu menaikan elektabilitas parpol yang mengusung. Jadi parpol pun tidak akan asal-asalan mengajukan capres.

Lalu apa untungnya jika ambang batas pengajuan capres dihapus bagi masyarakat?

Saya menganalogikan pertarungan pilpres seperti ajang piala dunia sepak bola. Bayangkan, jika piala dunia hanya boleh diikuti oleh negara-negara yang sudah pernah menjadi juara. Tentunya tidak asyik untuk diikuti. Tidak ada drama dan kejutan yang dibuat oleh timnas-timnas negara yang menjadi debutan.

Seperti itu juga pilpres. Dengan tanpa ambang batas, masyarakat akan diberikan banyak pilihan calon-calon baru, yang meski debutan namun punya kualitas. Pertarungan akan menarik, karena ditentukan murni oleh kualitas capres dan cawapres. Capres pejawat akan bertarung dengan ide dan gagasan baru yang ditawarkan oleh capres debutan.

Banyaknya pilihan capres, kemungkinan juga akan menambah antusias masyarakat untuk terlibat dalam pesta demokrasi lima tahunan itu. Tak perlu juga mengkhawatirkan ongkos pelaksanaan pilpres yang kemungkinan akan naik jika banyaknya calon. Toh selama ini masyarakat juga tidak pernah protes keras tentang biaya pemilu. Selama pemilu dan pilpres berkualitas, adil, jujur dan tanpa cela kecurangan, rakyat akan menerima.

Kembali ke pilkada serentak, hasil pemilihan kepala daerah serentak itu menunjukan bahwa konstelasi politik tidak lagi berada di tangan parpol-parpol besar. Namun, ketokohan lah yang menjadi penentu dalam meraup suara rakyat.

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement