Sabtu 08 Dec 2018 13:30 WIB

Pencabutan Garansi Hambat Pemakaian B20

Produsen alat berat mencabut garansi bila pelaku usaha pakai bahan bakar di atas B7.

Red: Friska Yolanda
alat berat
Foto: Antara/Asep Fathulrahman
alat berat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pencabutan garansi dari produsen alat berat atas pemakaian B20 dapat menghambat kontraktor dalam menerapkan konsumsi biodiesel. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi perusahaan kontraktor alat berat. Pasalnya, ada kewajiban menggunakan campuran biodiesel dari pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (ASPINDO), Bambang Tjahjono, selama ini beberapa produsen alat berat mencabut garansi apabila pelaku usaha menggunakan bahan bakar di atas B7 pada alat beratnya. Padahal, pemerintah telah mewajibkan penerapan campuran 20 persen Biodiesel (B20) pada 1 September 2018. 

Industri tambang termasuk salah satu yang sudah melaksanakan kewajiban tersebut. Bahkan sejak ada kewajiban B-5 sampai B-10.  

Sampai sekarang, pelaku usaha di sektor pertambangan mineral dan batu bara mendukung penuh kebijakan pemerintah dalam perluasan kewajiban penggunaan B20 di industri pertambangan. Bahkan baik pemilik perusahaan maupun kontraktor tambang yang juga perusahaan anggota asosiasi di sektor pertambangan, merupakan pelanggan terbesar PT Pertamina (Persero). 

"Saat ini sektor pertambangan merupakan konsumen terbesar kedua setelah PT PLN dalam pembelanjaan solar industri dan biodiesel, sebesar kurang lebih 250, 5 juta liter per bulan," kata Bambang Tjahjono, akhir pekan kemarin. 

Di sisi lain, bagi perusahaan kontraktor pertambangan, bahan bakar menyumbang 30 persen dari total biaya produksi. Oleh karenanya jaminan pasokan bahan bakar termasuk B20 menjadi sangat penting. 

"Pasokan bahan bakar yang tidak lancar dapat sangat mengganggu proses produksi. Hal ini pernah terjadi di beberapa site di daerah Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara," ujarnya. 

Meski kemudian diketahui bahwa pasokan yang terganggu ini karena perusahaan penyalur, juga mengalami kesulitan pasokan FAME. Ke depan menjadi penting untuk diperhatikan aspek pasokan B-20, sehingga operasional tambang tidak terganggu. 

Pelaku usaha juga menilai, meski sudah dilaksanakan selama kurang lebih empat bulan, namun masih sangat minim sosialisasi. "Perlu adanya sosialisasi yang tepat sasaran untuk semua sektor dan juga umum, tentang bagaimana persiapan sebelum menggunakan dan pasca menggunakan B-20 pada alat berat, mesin dan juga kendaraan," katanya.

Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Andriah Feby Misnah mengatakan, untuk tahapan kewajiban mengacu Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2016 sudah menerapkan B20 untuk PSO dan non PSO, juga industri dan komersial. Sementara untuk pembangkit listrik baru 20 persen.

Ia mengakui, masih ada beberapa tantangan seperti harga biodiesel yang lebih tinggi daripada harga solar, ketergantungan dengan harga CPO. Adanya keluhan dari OEM engine bahwa B20 tidak kompatibel dengan spesifikasi  engine mereka. Serta adanya keluhan tingginya biaya OM jika menggunakan B20.

Pada sisi lain, External Communication Manager Pertamina, Arya Dwi Paramita, secara konsisten telah melaksanakan penerapan biosolar yang diawali dengan komposisi 2,5 persen FAME (B2,5) pada 2006 hingga B20 pada 2018. Dalam periode tahun 2010 hingga 2018, penyerapan FAME sebagai campuran Biosolar telah mencapai 11, 9 juta kiloliter. Dengan implementasi ini, Pertamina telah berhasil menurunkan impor gasoil dan meningkatkan penggunaan produk domestik (CPO).

Dari sisi infrastruktur saat ini Pertamina telah menyiapkan 112 Terminal BBM untuk bisa menyalurkan Biosolar B20. Penerapan penyaluran ini dilakukan bertahap yakni pada awal September 2018 terdapat sebanyak 60 TBBM yang menyalurkan B20, terus meningkat menjadi 108 TBBM pada November 2018. 

Guna menjawab salah satu tantangan distribusi FAME, Pertamina telah melakukan penyederhanaan melalui rekonfigurasi titik suplai FAME yang sebelumnya sebanyak 69 titik pencampuran Solar dan Fame menjadi 25 titik pencampuran utama. Dengan terobosan ini diharapkan dapat mengurangi kompleksitas pola suplai dan meningkatkan penyerapan FAME. Dengan mengoperasikan 25 titik pencampuran utama ini maka penyerapan FAME bisa mencapai 442 juta liter per bulan.

"Selain itu, terobosan lainnya dilakukan melalui pengelolaan operasional floating storage di Balikpapan dan TBBM Tuban," kata Arya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement