Senin 02 Dec 2019 20:15 WIB

Dosen Hukum Unhas: Pihak KBN Diminta Hargai Keputusan MA

Apabila keberatan maka pihak KBN dapat mengajukan PK kepada MA.

Rep: Novita Intan/ Red: Gita Amanda
Hukum.(Ilustrasi). osen Hukum Univeristas Hasanuddin Hamid Awaluddin angkat bicara terkait kasus sengketa PT Karya Citra Nusantara (KCN) dan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN).
Foto: RESPONSIBLECHOICE
Hukum.(Ilustrasi). osen Hukum Univeristas Hasanuddin Hamid Awaluddin angkat bicara terkait kasus sengketa PT Karya Citra Nusantara (KCN) dan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Dosen Hukum Univeristas Hasanuddin Hamid Awaluddin angkat bicara terkait kasus sengketa PT Karya Citra Nusantara (KCN) dan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN). Padahal kasus tersebut sudah diputuskan oleh Mahkamah Agung dan KBN dinyatakan permohonan kasasi KCN diterima.

"Saya bingung pihak KBN kesana kemarin atau siapapun yang menyoal soal ini yang sudah diputuskan oleh MA. Kenapa tidak mau menghargai kasus hukum?" ujarnya ketika dihubungi Republika, Senin (2/12).

Menurutnya pihak KBN harus bisa menerima keputusan kasasi dari MA. Apabila keberatan maka pihak KBN dapat mengajukan PK kepada MA.

"Kalau memang keberatan atau tidak terima minta PK saja. Jangan setelah ada keputusan MA kok larinya kemana-kemana, belajarlah. Hargai mekanisme hukum dan proses hukum," ucapnya.

Hamid menjelaskan alasan KBN tidak beralasan karena yang diklaim adalah kawasan yang dianggap miliknya. Padahal ada Keppres 1992 bahwa tanah yang dikelola KBN sebesar 917 hektare berupa daratan.

Sementara yang dituntut adalah lautan atau air. Menurutnya saat itu KCN melakukan kerja sama dengan pemerintah (Kementerian Perhubungan) untuk membangun pelabuhan.  "Air bukan milik KBN karena KBN berdasarkan Keppres 1992 itu daratan dan kalau dilihat di satelit yang dibangun pelabuhan ada jarak antara daratan milik KBN sesuai Keppres dengan pelabuhan yang dibangun oleh KCN yaitu ada jaraknya 10 meter," jelasnya.

Tak hanya itu, Hamid menyebut dasar pembangunan pelabuhan yang dibangun KCN adalah UU Pelayaran. Sementara dasarnya KBN adalah Keppres atau kepemilikan.

"Saya juga bingung ada isu tanah negara dirampok, mana tanah negara yang dirampok? Tanah, laut yang diberikan atau kerja sama antara KCN dengan pemerintah untuk membangun pelabuhan demi kepentingan bersama," ucapnya.

Hamid mengingatkan pemegang saham KBN adalah Kementerian BUMN lalu pemegang saham kedua Pemda DKI. "Keduanya tidak setujui menomboki atau menambah dana kepemilikan saham 50 persen, begitu juga dengan dewan komisaris KBN tidak setuju. Jadi direktur utama KBN agak nyasar menuntut hukum,"  ucapnya.

Hamid juga menegaskan kasus ini tidak ada kaitanya dengan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. "Lalu orang kaitan dengan Pak Luhut artiny lebih konyol lagi. Pak Luhut waktu itu Menko Pulhukam, ada peraturan presiden percepatan pembangunan infrastruktur strategi nasional termasuk pelabuhan karena Menko jadi koordinator. Pak Luhut melihat ada proyek pelabuhan nasional maka minta dipercepat lalu ditafsirkan Pak Luhut terlibat padahal Pak Luhut menjalankan Perpres," ucapnya.

Ke depan, Hamid meminta pihak KBN bisa menghargai keputusan MA. "Lucu kalau menteri BUMN memPKkan menteri perhubungan dan KBN tidak boleh memaksakan kehendak karena hanya sebagai pengelola saja. Pemilik saham adalah Kementerian BUMN, tidak boleh seenaknya saja direktur utamanya," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement