Jumat 17 Jul 2020 05:13 WIB

Kasus Penyerang Novel, Hakim tak Akui Amicus Curiae Kontras

Hakim beralasan sistem peradilan pidana di Indonesia tidak mengenal 'amicus curiae'.

Red: Ratna Puspita
Suasana sidang putusan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan dengan terdakwa Rony Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette yang dilaksanakan secara virtual di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jakarta, Kamis (16/7).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Suasana sidang putusan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan dengan terdakwa Rony Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette yang dilaksanakan secara virtual di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jakarta, Kamis (16/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara tidak mengakui pendapat 'amicus curiae' (sahabat pengadilan) yang diajukan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dalam perkara dua orang penyerang penyidik KPK Novel Baswedan. "Terhadap 'amicus curiae' yang disampaikan oleh Kontras tertanggal 18 Juni 2020 dapat disampaikan sistem peradilan pidana di Indonesia dalam KUHAP tidak mengenal 'amicus curiae'," kata ketua majelis hakim Djumyanto di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (16/7).

'Amicus curiae' adalah istilah latin dari 'Sahabat Pengadilan', yaitu sebagai pihak yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara, memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan. Keterlibatan pihak yang berkepentingan dalam sebuah kasus ini hanya sebatas memberikan opini, bukan melakukan perlawanan.

Baca Juga

"Namun dalam praktik peradilan ditemukan beberapa fakta pengajuan 'amicus curiae' tidak langsung terkait dengan perkara," ungkap hakim.

Hakim mengakui memang praktik 'amicus curiae' dilakukan dalam beberapa kasus, yaitu (1) perkara majelis Time melawan Soeharto yang diajukan oleh kelompok kemerdekaan pers, (2) perkara Prita Mulyasari di Pengadilan Negeri Tangerang, (3) perkara Upi Asmaradana di PN makassar oleh ICJR dan (4) perkara penodaan agama oleh Basuki Tjahaya Purnama yang diajukan oleh LBH Jakarta.

"Majelis hakim memahami mengapa Kontras mengajukan 'amicus curiae' di atas tapi sebagaimana fungsi hukum acara pidana untuk menegakkan pidana materiil dimana majelis hakim atau pengadilan adalah tempat untuk menguji hasil penyidikan atau penuntutan atas dugaan dilanggarnya hukum pidana materiil," tambah hakim.

Menurut hakim, segala hal yang bermasalah di tingkat penyidikan dan penuntutan tidaklah serta merta dapat diambil alih oleh majelis hakim di pengadilan. "Sebab justru penegakan pidana formil atau materiil harus berdasarkan azas legalitas dimana sistem peradilan pidana dalam KUHAP menentukan majelis hakim berfungsi menguji hasil di tingkat penyidikan dan penuntutan dalam persidangan yang diatur dan ditentukan undang-undang," ungkap hakim.

Selanjutnya hasil dalam penyidikan dan penuntutan disusun dalam berita acara pemeriksaan (BAP) dan surat dakwaan. "Majelis hakim akan mengjui surat dakwaan berdasarkan fakta-fakta yang terbukti di persidangan," kata hakim.

Dalam perkara ini, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan vonis selama 2 tahun penjara kepada Rahmat Kadir Mahulette dan 1,5 tahun penjara kepada Ronny Bugis karena terbukti melakukan penganiayaan yang menyebabkan luka berat terhadap penyidik KPK Novel Baswedan. Keduanya terbukti melakukan perbuatan berdasarkan dakwaan subsider pasal 353 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Putusan memang lebih berat dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Utara yang menuntut Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis selama 1 tahun penjara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement