Hari-Hari Penyangkalan Sebelum Corona Mengganas di Iran
Iran menjadi negara dengan jumlah kasus terbesar ketiga corona di dunia.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Puti Almas
Iraj Harirchi, seorang Wakil Menteri Pendidikan Kesehatan dan Kedokteran Iran, sempat tampil di hadapan publik dengan mengatakan bahwa negaranya tidak membutuhkan karantina dalam respons terhadap wabah virus corona jenis baru (Covid-19) yang dinyatakan sebagai pandemi. Ketika itu, ia mengatakan bahwa, langkah demikian tidak sesuai untuk diterapkan saat ini, pada zaman yang sudah moderen.
“Karantina hanya dimiliki oleh zaman batu,” ujar Harirchi saat itu, dilansir the Age, Rabu (18/3).
Namun, hanya satu hari kemudian, Harirchi dilaporkan positif terinfeksi virus corona dan dikarantina. Kisahnya menjadi satu dari puluhan ribu kasus infeksi Covid-19 yang terjadi di Iran.
Sekitar sembilan dari 10 kasus di Timur Tengah saat ini berasal dari Iran, di mana hampir 15 ribu kasus Covid-19 dikonfirmasi di negara itu dan terdapat 853 kematian. Iran menjadi negara dengan jumlah kasus terbesar ketiga corona di dunia.
Bahkan, jumlah kasus yang dikonfirmasi diperkirakan masih akan bertambah dan diduga belum dilaporkan seluruhnya. Salah satu penyebab Iran menjadi negara dengan kasus Covid-19 terbesar disebut karena adanya hari-hari penyangkalan, yang memberi waktu bagi virus itu untuk menyebar di negara yang dikenal sebagai Republik Islam ini.
Selama hari-hari itu, peringatan 41 tahun Revolusi Islam 1979 dilakukan dengan aksi unjuk rasa yang tentu saja melibatkan banyak orang. Kemudian, pemilihan parlemen tetap diadakan, dengan pihak berwenang Iran terus berusaha keras untuk meningkatkan jumlah pemilih.
Meski Iran memiliki salah satu sistem medis terbaik di Timur Tengah, banyak rumah sakit di negara itu yang kewalahan menghadapi kedatangan gelombang pasien korban wabah Covid-19. Pemerintah Iran juga telah meminta bantuan dari Dana Moneter Internasional hingga 8,3 miliar dolar AS, yang menjadi pinjaman pertama sejak 1962.
Amir Afkhami dari Universitas George Washington yang mempelajari Iran mengatakan, permintaan pinjaman itu menjadi bukti kondisi sangat darurat di negara Timur Tengah ini. Ia mengatakan bahwa langkah itu sekaligus berbicara tentang betapa mengerikannya situasi dan mereka menyadari bahwa itu berputar di luar kendali.
Pihak berwenang Iran tampaknya tidak mampu atau tidak mau menghentikan perjalanan warga. Banyak kota yang dilanda wabah virus corona menyatakan akan mendirikan pos pemeriksaan kesehatan masing-masing, yang nantinya tak akan menerima kedatangan orang dari luar.
Belum diketahui apa langkah selanjutnya yang akan diambil Iran. Namun, apa pun itu tentu memengaruhi pemerintah dan teokrasi Syiah serta dunia. Salah satu hal yang hingga saat ini masih menjadi misteri adalah siapakah orang pertama yang terinfeksi virus corona jenis baru di Iran?
In Picture: Penjualan Masker di Iran Melonjak
Infeksi pertama
Pemerintah Iran meyakini bahwa wabah Covid-19 di Iran pertama kali dimulai di Qom, kota yang terletak 125 kilometer barat daya Ibu Kota Teheran. Pihak berwenang mengatakan, kemungkinan ada seorang pengusaha yang membawa infeksi saat melakukan perjalanan ke China.
Pemerintah Qom kemudian menarik para mahasiswa asal China dari kota itu. Kemudian, virus misterius di gerbang Iran menjadi judul peringatan sebuah surat kabar lokal ketika China memulai upaya lockdown di negara itu karena wabah Covid-19 pada Januari. Namun, perjalanan antara China dan Iran masih berlanjut ketika itu.
Dua kasus virus corona pertama di Iran diumumkan 19 Februari, dengan kedua korban meninggal di Qom. Karena virus bisa memakan waktu hingga dua pekan untuk menunjukkan gejala, mereka baru tertular virus pada awal Februari.
Iran maju dengan pemilihan 21 Februari, dengan jumlah pemilih terendah sejak revolusi. Pemerintah ingin meningkatkan legitimasinya setelah menembak jatuh sebuah jet penumpang Ukraina, menewaskan semua 176 orang di dalamnya. Beberapa hari sebelumnya, serangan pesawat tak berawak AS di Irak menewaskan pengawal revolusi Jenderal Qassem Soleimani, yang makin mengguncang kredibilitasnya.
Di Qom, Masjid Fatima Masumeh tetap dibuka. Kerumunan orang berduyun-duyun datang ke sana hingga 24 jam sehari, tujuh hari sepekan, untuk menyentuh dan menciumnya.
Pada pekan ini, akhirnya masjid ditutup. Negara-negara lain, sebagai perbandingan, telah lebih awal menutup atau membersihkan gereja, masjid, dan tempat ibadah lainnya untuk mengendalikan penyebaran virus.
Sejak itu, para pekerja yang memakai pakaian hazmat di Iran telah melakukan disinfeksi tempat-tempat ibadah. Pada Senin (16/3), Masjid Fatima Masumeh dan Mashhad telah ditutup. Namun, video yang beredar menunjukkan adanya orang-orang yang masih menyerbu halaman masjid, menuntut tempat itu dibuka.
Pemerintah Iran telah mengeluarkan peringatan dengan mengatakan jutaan orang di negara itu bisa meninggal karena Covid-19. Kondisi ini bisa terjadi saat warga di negara itu terus mengabaikan saran kesehatan yang diberikan dan tetap bepergian dari rumah mereka.
Hingga Rabu (18/3), Iran melaporkan sebanyak 16.169 kasus dengan total kematian 988 orang. Pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, pun akhirnya mengeluarkan keputusan agama yang melarang perjalanan tidak penting, sebagai tekanan kepada publik yang mengabaikan peringatan agar tidak keluar dari rumah masing-masing.