UEA Ucapkan Terima Kasih Israel Hentikan Aneksasi Tepi Barat
UEA memuji penandatangan kesepakatan normalisasi negaranya dengan Israel
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab (UEA) Sheikh Abdullah bin Zayed al-Nahyan memuji penandatanganan kesepakatan normalisasi diplomatik negaranya dengan Israel. Dia pun berterima kasih kepada Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu karena telah memilih untuk menghentikan pencaplokan wilayah Palestina.
"Yang Mulia, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, perdana menteri negara Israel, terima kasih telah memilih perdamaian, dan untuk menghentikan aneksasi wilayah Palestina, keputusan yang memperkuat keinginan bersama kita untuk mencapai masa depan yang lebih baik untuk generasi mendatang," kata al-Nahyan sesaat sebelum dokumen normalisasi diplomatik ditandatangani di Gedung Putih pada Selasa (15/9), dikutip laman Al Arabiya.
Penghentian pencaplokan Tepi Barat sebenarnya masih simpang siur. Sebab, saat UEA dan Israel menyepakati perjanjian normalisasi diplomatik pada Agustus lalu, Netanyahu mengatakan bahwa rencana aneksasi tidak disisihkan sepenuhnya. Dia tetap akan menjalin koordinasi dengan Amerika Serikat (AS) untuk mengeksekusi kebijakan tersebut.
Pada akhir Agustus lalu, delegasi Israel dan AS melakukan kunjungan resmi ke UEA. Delegasi AS dipimpin penasihat senior Gedung Putih Jared Kushner dan penasihat keamanan nasional AS Robert O'Brien. Sementara, delegasi Israel dipimpin penasihat keamanan nasional Meir Ben-Shabbat.
Pada kesempatan itu, delegasi membahas kolaborasi dan kerja sama dengan UEA di berbagai bidang, antara lain penerbangan, pariwisata, perdagangan, keuangan, kesehatan, energi, serta pertahanan. Pasca pertemuan, ketiga negara merilis keterangan pers dalam dua bahasa, yakni Arab dan Inggris. Dalam siaran pers berbahasa Inggris disebutkan bahwa kesepakatan UEA-Israel telah "menyebabkan penangguhan rencana Israel untuk memperpanjang kedaulatannya".
Namun, versi berbahasa Arab yang dipublikasikan Emirates News Agency, dikatakan bahwa "kesepakatan (dengan UEA) telah menyebabkan rencana Israel mencaplok tanah Palestina dihentikan". Perbedaan diksi "penangguhan" dan "penghentian" yang tercantum dalam dua keterangan pers berbeda bahasa itu pun disoroti warga Palestina."Bandingkan diri Anda dengan dua versi; penangguhan perpanjangan kedaulatan, bukan penghentian aneksasi tanah Palestina," kata Sekretariat Jenderal Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Saeb Erekat pada 1 September lalu.
Kepala perencanaan kebijakan dan kerja sama internasional di Kementerian Luar Negeri UEA Jamal Al-Musharakh mengatakan perbedaan kata-kata itu hanyalah masalah terjemahan. "Jika ada yang bisa memikirkan sinonim yang lebih baik daripada 'Eeqaf' (berhenti) untuk 'menangguhkan', tolong beri tahu saya. Salah satu prasyarat dimulainya hubungan bilateral adalah penghentian aneksasi," ujar Musharakh.
Anggota Komite Eksekutif PLO Hanan Ashrawi berpendapat perbedaan diksi dalam keterangan pers trilateral itu merupakan upaya "lidah bercabang" untuk mempengaruhi opini publik di dunia Arab. "Saya tidak berpikir ini adalah masalah penerjemahan, saya pikir ini adalah cara yang tidak jujur untuk mencoba memanipulasi wacana," katanya.
Ashrawi menilai terjemahan berbahasa Arab adalah cara menyesatkan opini publik Arab dengan mengatakan bahwa rencana pencaplokan telah dihentikan. "Padahal sebenarnya mereka menangguhkannya," ucapnya.
Gedung Putih menolak mengomentari komunike trilateral tersebut. Namun sumber AS yang mengetahui masalah tersebut mengatakan Gedung Putih tidak bertanggung jawab atas terjemahan berbahasa Arab. Saat Israel dan UEA mencapai kesepakatan normalisasi hubungan diplomatik pada 13 Agustus lalu, Presiden AS Donald Trump mengatakan "aneksasi sudah tak mungkin dilakukan".
Duta Besar AS untuk Israel David Friedman mengatakan kata "menangguhkan" dipilih dengan hati-hati oleh semua pihak. "'Tangguhkan' menurut definisi, cari, artinya penghentian sementara. Sekarang sudah tidak ada lagi, tapi tidak selamanya," ujarnya.