Hadapi Resesi Dalam, Inggris Pangkas Bantuan Luar Negeri

Inggris mengalami resesi terdalam lebih sejak tiga abad terakhir.

AP Photo/Matt Dunham
Aktivitas di salah satu jalan di Kota London, Inggris, Senin (2/11). Ekonomi mengalami resesi terdalam selama lebih dari tiga abad terakhir.
Rep: Adinda Pryanka Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON – Pemerintah Inggris mengurangi target lama terhadap alokasi bantuan luar negeri setelah mengalami resesi terdalam selama lebih dari tiga abad terakhir. Dalam sebuah pernyataan kepada anggota parlemen, Menteri Keuangan Rishi Sunak mengatakan, target untuk mengalokasikan 0,7 persen dari pendapatan nasional untuk bantuan luar negeri akan dipotong menjadi 0,5 persen.

Baca Juga


Langkah itu diharapkan dapat membebaskan 4 miliar poundsterling atau 5,3 miliar dolar AS untuk digunakan pemerintah di tempat lain. Para kritikus menilai, jumlah tersebut dapat digunakan untuk menyelamatkan puluhan ribu nyawa di bagian termiskin dunia.

Sunak mengungkapkan rasa hormat mendalam kepada mereka yang telah berdebat dengan penuh semangat untuk mempertahankan target ini. "Pada saat yang krisis belum pernah terjadi sebelumnya, pemerintah harus membuat pilihan sulit," tuturnya, seperti dilansir di AP, Rabu (25/11).

Sunak menjelaskan, pemerintah akan kembali ke target yang ditetapkan oleh pemerintah Partai Buruh Tony Blair pada 2004. Tapi, ia tidak menjelaskan jadwal pastinya. Ia hanya mengatakan, dengan target baru, Inggris akan tetap menjadi pemberi bantuan terbesar kedua di antara Kelompok Tujuh (G7) industri terkemuka.

Keputusan tersebut bertentangan dengan janji pemerintah pada tahun lalu untuk mempertahankan target bantuan dan menuai kritik tajam dari seluruh spektrum politik. Termasuk di dalamnya, politikus Partai Konservatif sekaligus Perdana Menteri Boris Johnson.

Menteri Luar Negeri Liz Sugg memutuskan mundur setelah keputusan tersebut. Ia menjelaskan, langkah pengurangan bantuan untuk luar negeri akan mengurangi kekuatan negara dalam mempengaruhi negara lain untuk melakukan sesuatu yang tepat.

Sugg menyebutkan, kebijakan itu merusak upaya Johnson untuk mempromosikan 'Global Britain' setelah keluar dari Uni Eropa pada awal tahun.

Inggris Raya dianggap sebagai salah satu pemimpin dunia dalam masalah pembangunan, sehingga keputusan tersebut ditanggapi dengan cemas dari para aktivitas anti-kemiskinan.

Kepala Eksekutif Oxfam Danny Sriskandarajah menjelaskan, langkah pemerintah Inggris akan berdampak signifikan terhadap kemiskinan dunia. "Memotong garis Inggris ke komunitas termiskin di dunia di tengah pandemi global akan menyebabkan puluhan ribu kematian yang dapat dicegah," ujarnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Save the Children Kevin Watkins mengatakan, keputusan Inggris telah merusak reputasi kepemimpinan Inggris di panggung dunia sebelum menjadi tuan rumah Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2021.

Dengan berbagai pandangan kontra, Sunak memastikan pemerintah berusaha menyeimbangkan dukungan berkelanjutan untuk ekonomi dengan komitmen jangka panjang guna memulihkan keuangan publik setelah kemerosotan yang parah.

"Darurat kesehatan kita belum berakhir dan darurat ekonomi kita baru saja dimulai," katanya.

Ekonom independen memproyeksikan, ekonomi Inggris akan menyusut 11,3 persen sepanjang 2020. Sunak menyebutkan, angka tersebut merupakan penurunan produksi terbesar selama lebih dari tiga dekade.

Penurunan besar-besaran tersebut telah menyebabkan peningkatan besar pada pinjaman publik karena pemerintah berusaha meredam pukulan akibat pandemi dan pendapatan pajak yang turun. Pinjaman publik tahun fiskal ini ditargetkan mencapai 394 miliar pound atau 19 persen terhadap PDB yang menjadi pinjaman tertinggi sepanjang sejarah Inggris.

Sunak mengatakan, pemerintah telah memompa 280 miliar pound dalam perekonomian untuk melalui pandemi.

 

sumber : AP
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler