Kabinet Prancis Restui RUU Baru Tangkal Ekstremisme
RUU tersebut diklaim membebaskan Muslim dari cengkeraman Islam radikal.
REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Presiden Prancis Emmanuel Macron pada Rabu (9/12) mendapatkan restu kabinetnya atas rancangan undang-undang (RUU) yang menargetkan radikalisme. RUU tersebut dibuat menanggapi serentetan serangan teror yang terjadi di Prancis.
Teks RUU yang awalnya berjudul "anti-separatisme" untuk merujuk pada Islam radikal kini diganti menjadi RUU untuk memperkuat nilai-nilai republik. Pergantian judul tersebut menyusul kritik terhadap istilah yang menyudutkan umat Islam Prancis.
Demi mempertahankan RUU tersebut, Perdana Menteri Jean Castex mengklaim teks tersebut tidak menargetkan kebebasan beragama, tetapi ditujukan pada ideologi jahat dari 'Islamis radikal'. Castex menggambarkan RUU yang diusulkan sebagai hukum kebebasan, perlindungan dan emansipasi dalam menghadapi fundamentalisme agama.
RUU tersebut sudah dipersiapkan sebelum adanya peristiwa pembunuhan Samuel Paty pada Oktober lalu. Paty adalah seorang guru yang diserang di jalan dengan cara dipenggal kepalanya setelah menunjukkan kartun Nabi Muhammad di kelas tempatnya mengajar kewarganegaraan.
Namun pembunuhan, yang dilakukan oleh seorang warga Chechnya (18 tahun) setelah rangkaian serangan di media sosial terhadap guru tersebut, memberikan dorongan baru pada RUU tersebut. Ditambah lagi serangkaian serangan di Prancis yang mencakup penembakan pada 2015 di majalah satir Charlie Hebdo dan gedung konser Bataclan, dan penusukan di sebuah gereja di kota Mediterania di Nice pada tahun yang sama.
Nice juga menjadi lokasi serangan 2016 yang menewaskan 86 orang ketika seorang laki-laki menabrakkan truk ke orang-orang yang bersuka ria pada Hari Bastille. Karena itu, pemerintah Prancis menyebutkan, radikalisasi dapat tumbuh di dalam negeri dan juga diimpor. Pemerintah selanjutnya menargetkan asosiasi dan masjid di Prancis yang dicurigai menyebarkan ideologi jihadis.
"Musuh Republik adalah ideologi politik yang disebut 'Islamisme radikal', yang bertujuan memecah belah Prancis di antara mereka sendiri," kata Castex pada Rabu pagi dalam wawancara dengan harian Prancis Le Monde, dilansir di France 24, Kamis (10/12).
Dia berargumen daripada menargetkan Muslim, undang-undang tersebut bertujuan membebaskan Muslim dari cengkeraman Islam radikal yang terus tumbuh. RUU yang diusulkan ini nantinya, akan menghentikan pendanaan pemerintah kepada masjid yang dianggap menjadi tempat penyebaran ideologi ekstrem.
RUU tersebut juga melarang poligami di Prancis. Pihak berwenang dilarang mengeluarkan izin tinggal untuk pelamar poligami.
Pejabat balai kota juga akan mewawancarai pasangan yang hendak menikah, secara terpisah. Hal ini dilakukan untuk memastikan pasangan tersebut tidak dipaksa menikah.
RUU tersebut juga telah memposisikan Macron sebagai tempat sasaran protes sengit dari negara-negara Muslim. Mereka bahkan menyerukan pemboikotan terhadap produk-produk Paris sebagai bentuk pembelaan atas penistaan yang dialami Muslim Paris.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyebut usulan undang-undang itu sebagai provokasi terbuka. Sementara para cendekiawan di lembaga Islam Sunni Mesir, Al-Azhar, menyebut pandangan Macron sebagai rasialis.
Muslim di Prancis - bekas koloni yang mencakup negara-negara mayoritas Muslim di Afrika utara dan barat serta Timur Tengah - diperkirakan berjumlah hampir empat juta atau sekitar enam persen dari populasi. Pemerintah Prancis sering berselisih dengan tradisi Muslim ketika mereka dianggap bertentangan dengan nilai-nilai inti Prancis atau menghalangi integrasi.
Pada 2004, Prancis membuat UU yang melarang penggunaan jilbab di sekolah-sekolah Prancis. Enam tahun kemudian larangan penggunaan burqa atau cadar di muka umum juga dibuat. Baru-baru ini, beberapa resor tepi laut Prancis selatan melarang wanita Muslim berada di pantai jika mereka mengenakan burkini atau pakaian renang tertutup.
Menurut survei terhadap populasi Muslim Prancis, yang diterbitkan oleh institut Ipsos awal tahun ini, 77 persen mengatakan mereka tidak kesulitan menjalankan agama mereka di Prancis. Namun, survei yang sama menemukan 44 persen Muslim Prancis percaya sebagian besar masyarakat tidak terlalu memperhatikan mereka. Angka tersebut meningkat menjadi 61 persen di antara Muslim yang tinggal di rumah tangga berpenghasilan di bawah upah minimum.