SPI: Tahun 2020 Penuh Cobaan Buat Petani

Program food estate yang diprakarsai oleh pemerintah tidak memberi ruang bagi petani

EPA-EFE/ADI WEDA
Seorang petani menggarap sawahnya di Kerawang, Indonesia, 28 Desember 2020. ilustrasi
Rep: Dedy Darmawan Nasution Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Serikat Petani Indonesia (SPI) merilis catatan akhir tahun di penghujung tahun 2020 ini. Ketua Umum SPI, Henry Saragih menyampaikan, catatan tersebut disusun berdasarkan data-data pendukung yang dikumpulkan baik dari laporan anggota SPI, hasil investigasi, informasi dari lembaga lain, pengamatan, serta informasi dari media massa.

Baca Juga


“Harapannya ini menjadi masukan bagi para pemangku kepentingan. Mengingat petani dan warga perdesaan sebagai pihak yang terpapar langsung dari kebijakan di sektor pertanian dan perdesaan, belum terlibat langsung dalam perumusan kebijakan yang akan berdampak pada mereka sendiri,” kata Henry secara tertulis kepada Republika.co.id, Rabu (30/12).

Henry mengatakan, pandemi Covid-19 memberikan dampak yang serius bagi tata niaga pertanian di Indonesia. Sejak pertama kali dikonfirmasi oleh pemerintah Indonesia pada awal Maret 2020, situasi pandemi Covid-19 mengakibatkan rendahnya serapan produk hasil pertanian.

Diberlakukannya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mayoritas diterapkan di perkotaan, seperti di Jabodetabek, Jawa Timur, Banten, dan daerah perkotaan lainnya pada awal sampai pertengahan tahun.

Henry melanjutkan, pemerintah pada dasarnya telah mengambil beberapa kebijakan untuk mengatasi hal tersebut. Misalnya pemerintah telah merangkul BUMN di sektor pangan sebagai penjamin pasar (off taker) agar produksi dari petani dapat diserap.

Namun, kata Henry, SPI menyoroti bahwa kebijakan belum dijalankan secara maksimal oleh pemerintah. Pemerintah seharusnya memaksimalkan peran BUMN sektor pangan, bahkan dapat menjadikan koperasi-koperasi petani sebagai penjamin sarana untuk membeli sekaligus memasarkan hasil panen dari petani,” tambahnya.

Ia melanjutkan, dalam rangka mengantisipasi pemenuhan pangan di Indonesia khususnya di masa pandemi Covid-19, pemerintah justru berfokus pada program food estate yang tengah dijalankan di beberapa wilayah Indonesia saat ini.

Henry menjelaskan, food estate yang disebut-sebut sebagai kegiatan pertanian skala luas, modern, dengan konsep pertanian sebagai sistem industrial berbasis iptek, modal, organisasi, dan manajemen modern, pada praktiknya akan memberi ruang yang besar bagi korporasi ataupun modal untuk ikut berinvestasi.

Keikutsertaan korporasi yang difasilitasi dalam skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) atau Public Private Patnership (PPP) akan memperparah ketergantungan pangan Indonesia karena memberikan tanggung jawab soal pangan diurus oleh korporasi pertanian besar baik itu korporasi luar negeri dan Indonesia.

“Selain itu, ditinjau dari aspek perumusan kebijakan, program food estate yang diprakarsai oleh pemerintah tidak memberi ruang bagi petani dan orang-orang yang berada di perdesaan untuk menentukan sistem pangan sendiri dan berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan terkait setuju atau tidaknya program food estate tersebut dijalankan,” paparnya.

Henry menambahkan, rencana pemerintah dengan mendorong food estate di beberapa wilayah Indonesia ini juga dinilai tidak diiringi dengan pertimbangan yang tepat.

 

 

Sebelumnya, program food estate juga sudah pernah dicoba di beberapa wilayah Indonesia, seperti Bulungan (2012) dan Ketapang (2013), dan gagal mencapai target-target fantastis yang diharapkan.

Henry juga mengingatkan, hingga tahun ini pemerintah Indonesia masih belum menjalankan mandat dari Undang-Undang Nomor 18 Tentang Pangan, terkait pembentukan Badan Pangan Nasional.

Padahal pembentukan Badan Pangan Nasional menjadi sangat relevan, mengingat kompleksnya permasalahan tata kelola pangan di Indonesia. Kehadiran Badan Pangan Nasional diharapkan dapat mengurai peliknya koordinasi antar kementerian/lembaga yang urus pangan saat ini, keruwetan kebijakan pangan terkait impor maupun ekspor pangan, sampai dengan bagaimana kebijakan jangka panjang mengenai cadangan pangan dalam menghadapi situasi-situasi tertentu.

“Langkah pemerintah Indonesia membubarkan Dewan Ketahanan Pangan (DKP) di tengah belum terbentuknya Badan Pangan Nasional juga menjadi catatan SPI. Bersama dengan beberapa lembaga negara lainnya, DKP dibubarkan dengan alasan peningkatan efektivitas dan untuk mencapai rencana strategis pembangunan nasional,” kata Henry.

Hal selanjutnya yang disorot oleh SPI adalah sepanjang tahun 2020, pemerintah Indonesia mendorong agar skema korporatisasi petani, sebagai model yang dinilai relevan dan tepat untuk diterapkan di Indonesia.

Terkait hal tersebut, pemerintah melalui kementerian terkait seperti Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Pertanian dan Bappenas akan melaksanakan program korporasi petani dengan tujuan mendirikan perusahaan-perusahaan profesional yang mayoritas dimiliki oleh petani.

Secara pembiayaan, korporasi petani tidak hanya dibiayai melalui APBN, namun akan difasilitasi realisasinya dengan sumber pendanaan yang beragam, sehingga petani dapat menjadi investor di produk pertaniannya. “SPI memandang konsep korporatisasi koperasi pertanian yang tengah digagas saat ini justru berpotensi semakin memarjinalkan petani dan koperasi sebagai kelembagaan ekonomi, khususnya di wilayah perdesaan," katanya.

Menurutnya, dalam konsep korporasi pertanian, petani tidak diposisikan sebagai aktor utama, melainkan pada posisi penyuplai, ataupun pekerja. Sementara yang akan menjadi aktor utama tidak lain adalah pihak korporasi atau swasta itu sendiri, dan itu diyakini akan menghilangkan kedaulatan petani.

“Tidak hanya itu, sistem penanaman pertanian atau perkebunan, dalam korporasi petani, juga menggunakan pendekatan ekonomi pasar yang mendorong pertanian monokultur, bukan polikultur," ujarnya.

 

Reforma Agraria

Henry mengatakan, reforma agraria kembali menjadi sebuah program strategis nasional di dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Namun alih-alih menjalan reforma agraria, pemerintah justru mengesahkan Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) dengan metode omnibus law, yang  mengakibatkan perubahan besar dalam arah kebijakan pembangunan agraria di Indonesia.

UU Cipta Kerja diketahui memasukkan pasal-pasal kontroversial dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan yang sejatinya telah ditunda pengesahannya karena mendapat penolakan besar-besaran.

Pasal-pasal tersebut antara lain Pasal 125-129 tentang pembentukan Bank Tanah, Pasal 129 tentang penguatan Hak Pengelolaan (HPL), dan Pasal 144 tentang kepemilikan orang asing dalam hak milik atas Satuan Rumah Susun untuk Orang Asing (Sarusun).

Henry juga memberikan catatan khusus terkait masih kurang kuatnya Peraturan Presiden RI (Perpres) Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, yang dijadikan sebagai dasar implementasi reforma agraria di pemerintahan saat ini.

Beberapa kelemahan di dalam Perpres Nomor 86 Tahun 2018 ini antara lain mengenai kelembagaan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang belum melibatkan para petani dan organisasi petani, baik itu GTRA di tingkat pusat ataupun GTRA di tingkat wilayah.

"Hal ini berdampak pada tidak teridentifikasi dengan baiknya berbagai konflik-konflik agraria yang seharusnya dapat diselesaikan dengan cepat, termasuk juga redistribusi tanah-tanah yang sebelumnya sudah teridentifikasi sebagai Tanah Objek Reforma Agraria (TORA)," ujarnya.

Henry melanjutkan, tahun 2020 juga masih marak terjadi konflik agraria. SPI sendiri secara aktif melakukan pendataan terhadap kasus-kasus konflik agraria yang mencuat pada tahun 2020. Dari pendataan yang dilakukan oleh SPI, tercatat terdapat 37 kasus konflik agraria yang mencuat sepanjang tahun 2020.

Henry menjelaskan, di penghujung tahun 2020, presiden kembali berinisiatif untuk mempercepat penyelesaian konflik agraria dan pelaksanaan reforma agraria. Hal ini dibuktikan dengan serangkaian rapat terbatas kabinet dan rapat koordinasi dengan organisasi gerakan rakyat.

Henry menambahkan, disahkannya UU Cipta Kerja juga berpotensi membawa dampak negatif bagi kebijakan perbenihan di Indonesia. UU Cipta Kerja mempermudah ketentuan terkait pemasukan dan pengeluaran benih ke dan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebelumnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 63 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura (UU Hortikultura), terdapat ketentuan bahwa pemasukan benih ke dalam wilayah Indonesia untuk kepentingan komersial hanya diperbolehkan bila tidak dapat diproduksi dalam negeri atau kebutuhan dalam negeri belum tercukupi.

“Ketentuan ini dihapus dalam UU Cipta Kerja, dan jelas akan mengakibatkan terancamnya kedaulatan petani atas benih, karena upaya perlindungan terhadap petani di tingkat nasional semakin diminimalisir," kata Henry.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler