Tuntutan 4 Tahun Usai Djoko Bilang, "Ini Cuma Urusan Kecil"

Pukat UGM menilai Kejaksaan kurang serius dalam kasus Djoko Tjandra

Republika/Thoudy Badai
Terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra menjawab pertanyaan wartawaan saat akan menjalani sidang tuntutan atas perkara dugaan suap kepada jaksa dan perwira tinggi Polri serta pemufakatan jahat di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (4/3).Pengusaha Djoko Tjandra dituntut empat tahun penjara dan denda Rp100 juta subsidair enam bulan kurungan, karena dianggap terbukti menyuap dua jenderal polisi terkait penghapusan namanya dari daftar pencarian orang (DPO).Republika/Thoudy Badai
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah

Terdakwa perkara suap terkait pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) serta penghapusan namanya dalam daftar pencarian orang (DPO), Djoko Tjandra dituntut 4 tahun penjara. Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Agung (Kejagung) menunut denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan terhadap Djoko Tjandra.

"Tidak ada alasan pemaaf maupun alasan pembenar bagi perbuatan atas diri terdakwa. Menyatakan terdakwa Joko Soegiarto Tjandra terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi," kata jaksa Zulkipli membaca surat tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (4/3).

Baca Juga



"Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 4 tahun dan perintah terdakwa ditahan di rumah tahanan, dan denda sejumlah Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan," ujarnya menambahkan.

Dalam menyusun tuntutan, JPU memiliki beberapa pertimbangan. Untuk hal yang memberatkan, Djoko Tjandra dianggap tidak mendukung program pemerintah dalam rangka menyelenggarakan penyelenggara negara yg bersih dan bebas dari korupsi.

Sementara, hal yang meringankan, Djoko Tjandra dianggap  sopan di persidangan. Dalam amar tuntutan, penuntut umum juga menolak permohonan Djoko Tjandra untuk menjadi justice collaborator atas surat yang diajukan tertanggal 4 Februari 2021.

Penuntut umum menganggap Djoko Tjandra merupakan pelaku utama dalam kasus dugaan suap pejabat negara. Hal tersebut karena Djoko Tjandra berposisi sebagai pihak pemberi suap.

"Menyatakan permohonan terdakwa Joko Soegiarto Tjandra untuk menjadi justice collaborator tidak diterima," ucap dia.



Sebelumnya, Djoko Tjandra didakwa melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 Ayat (1) dan (2) KUHP.

Sebelum menjalani persidangan, kepada awak media Djoko Tjandra mengaku santai dan menegaskan perbuatannya bukanlah suatu perbuatan jahat. "Santai saja, ini tidak ada suatu perbuatan yang merugikan negara, ini cuma urusan kecil, bukan suatu perbuatan jahat," ujar Djoko Tjandra dengan santai di ruang sidang.

Djoko Tjandra merasa dia menjadi korban sejak pertemuan dengan Pinangki Sirna Malasari, Andi Irfan Jaya, serta Anita Kolopaking di Kuala Lumpur, Malaysia, pada November 2019 lalu. "Mereka datang ke saya ke Malaysia. Dari sejak itu, mereka melakukan serangkaian konsep. Ya, memang saya dikorbankan. Bukan dikorbankan, tapi ditipu," kata Djoko Tjandra.

"Sesuai apa yang saya bicara kemarin dari pembuktian saya katakan ke JPU saya yang jadi korban penipuan. Untuk itu, mereka harusnya tuntut bebas saya," ujar Djoko Tjandra menambahkan.

Action Plan Bebaskan Djoko Tjandra Lewat Fatwa MA - (Republika)

Kuasa Hukum Djoko Tjandra, Soesilo Ariwibowo menilai penuntut umum keliru memberikan tuntutan 4 tahun penjara terhadap kliennya. Menurutnya, penuntut umum hanya menyalin dakwaan milik Pinangki Sirna Malasari.

"Ya, salah lihat tuntutan itu, JPU copy paste dengan dakwaan dan kasus Pinangki. Mereka keliru meletakkan posisi Djoko Tjandra sebagai pelaku utama, dia sebenarnya kan korban, " kata Soesilo kepada Republika, Kamis (4/3).

Soesilo menegaskan, pihaknya akan menolak semua argumentasi penuntut umum di dalam nota pembelaan atau pleidoi yang akan disampaikan pekan depan. "Prinsipnya akan menolak semua argumentasi jaksa penuntut umum, " tegasnya.

Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman menilai, tuntutan 4 tahun penjara terhadap Djoko Tjandra menunjukkan kurang seriusnya Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam perkara pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) serta penghapusan nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO).

"Kejaksaan tampak kurang serius dalam kasus ini," kata Zaenur kepada Republika, Kamis (4/3).

Padahal, menurut Zaenur, perkara ini sangat merusak wibawa dan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum serta sistem hukum yang terbukti carut marut. Pukat UGM memandang Djoko Tjandra seharusnya dituntut maksimal sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) huruf b UU Pemberantasan Tipikor, yakni hukuman maksimal 5 tahun penjara.

"Dalam dalam kasus Djoko Tjandra ini, Djoko Tjandra dituntut  4 tahun, padahal menurut saya seharusnya Kejaksaan  menuntut maksimal sesuai yang diatur dalam pasal 5 ayat 1 UU Tipikor yakni hukuman maksimal lima tahun penjara," ujarnya.

"Kenapa maksimal karena daya rusak perbuatan pelaku ini sangat besar terhadap institusi hukum juga terhadap sistem hukum," tegas Zaenur.

"Dengan tuntutan baik terhadap Pinangki 4 tahun dan sekarang Djoko Tjandra juga 4 tahun. Menurut saya itu seakan-akan menunjukan kurang seriusnya Kejaksaan dalam menyelesaikan kasus ini," tambahnya.

Djoko Tjandra - (Republika)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler