Popularitas Partai Merkel Anjlok Akibat Krisis Covid-19
Analis politik mengatakan partai Kristen Demokrat (CDU) menghadapi perjuangan berat
REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Ketika Anda berfikir tentang Jerman, Anda biasanya membayangkan sebuah negara yang sangat efisien dan terorganisir dibandingkan dengan banyak negara lain di Eropa. Negara dengan ekonomi terkuat di Eropa itu hampir seketika menjadi panutan global dalam mengatasi krisis virus corona pada awal 2020.
Setelah gelombang pertama, Kanselir Angela Merkel dan partainya, Christian Democratic Union (CDU), dipandang sebagai pemenang utama krisis. Pemerintah kanan-tengah itu dinilai mampu menghadapi pandemi dengan kepala dingin dan manajemen krisis yang tegas. Saat itu, pada pertengahan April 2020, di Amerika Serikat , sekitar 4 persen dari mereka yang terinfeksi meninggal dan bahkan lebih dari 10 persen masing-masing di Spanyol, Prancis, dan Italia. Di Jerman, saat itu hanya 2 persen.
Peringkat popularitas kanselir melonjak dan pers internasional memuji Merkel atas keberhasilannya dalam menangani virus. Rasionalitas fisikawan bergelar doktor ini menjadi kunci bagi Jerman dalam mengatasi krisis ini dengan relatif ringan. Tapi kemudian banyak hal berantakan karena masalah penting seperti vaksinasi, pengujian atau testing, dan perlindungan lansia tidak dikelola dengan baik.
Partai Merkel juga menghadapi skandal keuangan di mana anggota parlemen menjadi perantara penjualan masker dan alat pelindung diri. Setahun kemudian, gambarannya sangat berbeda. Alih-alih satu krisis besar, kini ada banyak krisis kecil yang harus diselesaikan oleh kanselir Jerman itu.
Daftar kegagalan dalam hal cara efektif melawan gelombang kedua dan ketiga dari virus itu cukup panjang, mulai dari kekurangan masker dan desinfektan medis, kegagalan untuk memberlakukan pembatasan perjalanan yang ketat, dan fakta bahwa alat uji instan Covid-19 disediakan sangat terlambat. Semua itu dianggap sebagai faktor penyebab memburuknya krisis Covid-19 di Jerman.
Namun, bencana sebenarnya adalah lambatnya peluncuran vaksinasi karena banyak kritik muncul seputar subjek vaksinasi dan pengujian, yang dipandang oleh para ahli kesehatan sebagai dua cara paling efektif untuk memerangi pandemi. Justru poin-poin krusial inilah yang selama ini berubah menjadi masalah besar. Kampanye vaksinasi nasional belum mencapai kecepatan yang diinginkan bahkan tiga bulan setelah dimulai.
Dengan 95 dosis yang diberikan per 1.000 penduduk, Jerman menempati urutan ke-31 dalam peringkat internasional, berada di satu tempat antara Slovenia dan Rumania. Hanya 10 persen populasi Jerman menerima dosis vaksinasi pertama, lebih rendah dari Inggris dan Amerika Serikat masing-masing 42 persen dan 26 persen.
Jerman masih bergulat dengan kekurangan vaksin dan tes instan Covid-19 karena negara itu telah memasuki fase pandemi ketiga, didorong oleh pelonggaran pembatasan dalam beberapa pekan terakhir tepat ketika varian yang lebih menular telah menyebar.
Pakar kesehatan memperkirakan lonjakan dramatis lain dalam jumlah infeksi baru setelah liburan Paskah.
"Ada sinyal yang sangat jelas bahwa gelombang ketiga ini akan jauh lebih sulit," kata kepala Institut Robert Koch (RKI) untuk Penyakit Menular, Lothar Wieler, pada konferensi pers baru-baru ini di Berlin.
Semuanya menunjuk pada fakta bahwa situasinya akan memburuk dalam beberapa minggu mendatang. Orang yang bekerja sangat terpengaruh. Anda dapat melihat banyak infeksi di rumah pribadi atau pusat penitipan anak "karena virus menyebar di mana pun orang terinfeksi," tambahnya.
Wieler menunjukkan bahwa dengan virus varian B.1.1.7, pelacakan kontak menjadi lebih sulit.
"Tes adalah jembatan menuju tawaran vaksinasi untuk semua orang. Tapi sayangnya, kita lihat lagi di sini: terlambat, terlalu lambat, terlalu sedikit yang dipesan. Harus dinyatakan dengan jelas bahwa kesalahan mungkin telah terjadi di Kementerian Kesehatan Federal," kata Markus Blume, sekretaris jenderal Christian Social Union (CSU), partai koalisi dengan CDU.
Ketidakpuasan publik terhadap penanganan krisis Merkel dapat dilihat dari kejatuhan suara CDU dalam jajak pendapat dan kekalahan baru-baru ini di dua negara bagian utama. Pemerintah telah mengakui bahwa mereka melakukan kesalahan dalam strategi virus korona dan sedang berusaha memperbaikinya. Tetapi partai Merkel tidak hanya berjuang dengan pandemi virus corona. Partai itu juga berada di bawah tekanan besar secara internal enam bulan sebelum pemilihan umum.
Pakar politik di Berlin menunjukkan dua tantangan utama yang dihadapi CDU selama beberapa bulan mendatang.
"Saya pikir mereka menghadapi dua tantangan. Pertama, ini adalah pemilu pertama di mana Merkel bukan kandidat bagi partai mereka. Jadi mereka harus menghadirkan kandidat baru yang masih perlu diketahui oleh banyak pemilih, dan kami masih tidak tahu siapa yang akan menjadi kandidatnya,” kata Arndt Leininger, seorang profesor ilmu politik di Free University of Berlin.
“Dan tantangan kedua adalah penanganan krisis korona,” imbuhnya.
Selain kesalahan manajemen, partai Merkel juga tersangkut skandal masker medis corona. Di satu sisi, ada dugaan politikus CDU dan CSU telah diuntungkan secara pribadi dengan membantu menjadi perantara penjualan masker dan pelindung diri. Di sisi lain, muncul pertanyaan tentang sejauh mana politisi telah menggunakan kontak pribadi mereka untuk mempromosikan kesepakatan ini. Masih belum jelas siapa calon CDU / CSU untuk posisi kandidat pada September mendatang.
Keputusan ditunda beberapa kali. Baru-baru ini, pemimpin CDU Armin Laschet mengumumkan bahwa pertanyaan kanselir akan diselesaikan pada pertengahan Mei.
Sejauh ini, Laschet dianggap kandidat paling menjanjikan, bahkan di atas pemimpun CSU Markus Soeder. Tetapi krisis saat ini juga mempengaruhi Laschet, yang merupakan perdana menteri negara bagian Rhine-Westphalia Utara. Bagaimanapun, satu hal menjadi semakin jelas: Siapa pun yang menggantikan Merkel setelah 16 tahun akan menghadapi pertarungan pemilihan yang berat sebelum menjadi kanselir Jerman berikutnya.