Mengapa Ulama dan Umara Disandingkan dalam Alquran?
Ulama dan umara sangat penting hubungannya untuk suatu negara
Oleh : Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof KH Nasaruddin Umar
REPUBLIKA.CO.ID, -Ada dua kekuatan di dalam masyarakat bangsa Indonesia, yaitu umara dan ulama. Kata ulama dan umara dua kosakata yang sering menimbulkan kerancuan di dalam masyarakat.
Hal itu karena tidak sedikit jumlah ulama menjadi umara (pemerintah) dan tidak sedikit pula umara yang juga memiliki kapasitas ulama. Alquran membedakan entitas kedua kata itu sebagaimana disebutkan dalam ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
"Hai orangorang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS An Nisa 59).
Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa tidaklah tepat mendikotomikan peran ulama dan umara. Ulama adalah representasi fungsi kenabian yang bertanggung jawab untuk menuntun masyarakat, termasuk pemerintah, agar tetap di atas jalan yang benar, sebagaimana dijelaskan Rasulullah, al- 'ulama' waratsah al-anbiya' (ulama adalah ahli waris Nabi).
Sedangkan, pemerintah (umara) adalah pemimpin eksekutif yang bertanggung jawab terhadap jalannya pemerintahan, yang dalam menjalankan kepemerintahan itu tidak boleh bertentangan dengan prinsip yang dituntunkan para ulama.
Baca juga : Laporan: Serangan Israel ke Masjid Al Aqsa Naik 60 Persen
Ulama adalah representasi dan sekaligus pengawal ajaran Alquran dan hadits, sedangkan umara lebih kepada implementator dari kebijakan universal yang digariskan ulama. Kedua-duanya berfungsi untuk mewujudkan masyarakat yang ideal, sebuah masyarakat yang mandiri dan berjalan di atas landasan dan prinsip yang benar. Tidak boleh satu sama lain mengeklaim diri lebih benar atau lebih berperan.
Dalam konteks nation state, kehadiran, fungsi, dan peran ulama di setiap negara berbeda-beda. Ada negara yang memberikan fungsi pengawasan dan sekaligus penentu kebijakan secara mutlak, dalam arti rumusan kebijakan pemerintah (umara) harus mendapatkan persetujuan dan legitimasi terakhir dari otoritas ulama. Negara seperti itu antara lain Negara Republik Islam Iran, Afghanistan di bawah Taliban, dan beberapa negara Islam lainnya.
Ada juga negara yang menempatkan ulama sebagai simbol tata kelola negara, tetapi pemerintah (umara) lebih dominan di dalam penentuan kebijakan. Di dalam konstitusi jelas masih dicantumkan peran ulama di dalamnya. Negara seperti itu ialah Brunei Darussalam dan sejumlah negara berpenduduk mayoritas Muslim.
Di Indonesia, peran ulama jelas dan sudah men jadi konvensi. Meskipun ulama tidak dicantumkan di dalam UUD 1945, semangat Pembukaan UUD 1945 dan pencerminannya di sejumlah pasal dalam batang tubuh telah memberikan peran penting terhadap ulama, yang sejajar dengan pimpinan umat beragama lainnya.
Kita mengenal ada majelis-majelis agama, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk agama Islam, Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) untuk agama Protestan, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) untuk agama Katolik, dan majelis-majelis agama lainnya.
Baca juga : 428 Bus Operasional PON XX Dikirim ke Papua
Untuk urusan hukum positif, itu merupakan domain pemerintah (umara), sedangkan urusan hukum syariah merupakan domain MUI. Demikian pula untuk agama-agama lain. Urusan internal suatu agama, seperti ajaran dan problem internal setiap agama, merupakan domain pemimpin agama.
Jika ada masalah yang melibatkan publik, baru negara terlibat. Penentuan sesat atau tidak sesatnya sebuah ajaran bukan domain pemerintah, tetapi domain majelis-majelis agama meski tidak tertutup kemungkinan di antara para pejabat ada ahli agama juga.