Vladimir Putin dan Joe Biden akan Gelar Pertemuan Bilateral
Putin dan Biden akan membahas isu Afghanistan, Iran, Libya, Suriah, dan Ukraina
REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW – Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden akan melakukan pertemuan bilateral secara virtual dalam beberapa hari mendatang. Mereka akan membahas implementasi dari keputusan yang dibuat saat keduanya bertemu di Jenewa, Swiss, Juni lalu.
Penasihat presiden Rusia untuk urusan kebijakan luar negeri, Yury Ushakov, mengatakan, tanggal pertemuan akan diumumkan secara bersamaan dengan pihak AS dalam waktu yang disepakati. “Kami memiliki tanggal dan waktu tertentu untuk konferensi video ini, tapi lebih baik menunggu persetujuan akhir dari semua parameter dengan pihak Amerika, dan kemudian kami akan mengumumkannya secara resmi,” ucapnya pada Jumat (3/12).
Selain persoalan bilateral, Putin dan Biden akan turut membahas isu Afghanistan, Iran, Libya, Suriah, dan Ukraina. Saat ini Rusia dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) tengah terlibat ketegangan di Ukraina. Menurut Ushakov, situasi di Ukraina akan menjadi salah satu fokus pembahasan.
Putin, kata Ushakov, berencana memberi tahu Biden tentang proposal jaminan keamanan yang akan menghentikan ekspansi militer NATO ke arah timur. Moskow pun menginginkan NATO menyetop penyebaran senjata di negara-negara tetangga Rusia, termasuk Ukraina. “Mengingat situasi tegang, sekarang ada kebutuhan mendesak untuk memberi kami jaminan yang sesuai. Itu tidak bisa terus seperti ini,” ujar Ushakov.
Ushakov membantah tudingan NATO, AS, dan Ukraina bahwa Rusia mengambil langkah-langkah agresif di sepanjang perbatasannya dengan Kiev. “Itu omong kosong, tidak ada eskalasi. Kami memiliki hak untuk bergerak di sekitar pasukan di wilayah kami sendiri, sama sekali tidak ada eskalasi (oleh Rusia),” ucapnya.
Sebelumnya NATO mengaku ingin menghindari konflik dengan Rusia di Ukraina. Namun Moskow harus menghentikan tindakan agresifnya di wilayah tersebut. “Tugasnya adalah untuk mencegah hal tersebut (konflik) terjadi. Itu pertama-tama alasan mengapa kami menyerukan Rusia menghentikan tindakan agresifnya terhadap Ukraina,” kata Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg dalam sebuah wawancara dengan CNN, Rabu (1/12).
Terkait tindakan agresif Rusia terhadap Ukraina, Stoltenberg menegaskan, setiap hak memiliki hak membela diri seperti tertuang dalam Piagam PBB. “Dukungan NATO untuk Ukraina adalah 110 persen atau benar-benar sejalan dengan kewajiban internasional kami. Dan Ukraina, tentu saja, memiliki hak membela diri,” ujarnya.
Dia menggarisbawahi NATO memberikan jaminan keamanan kepada negara-negara anggotanya. Namun Ukraina memang tak termasuk dalam pakta pertahanan tersebut. “Ukraina adalah mitra yang kami berikan dukungan dan kapasitas pelatihan,” ucap Stoltenberg.
Hubungan Ukraina dengan Rusia telah memanas sejak 2014, yakni ketika massa antipemerintah berhasil melengserkan mantan presiden Ukraina yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych. Kerusuhan pun terjadi karena terdapat pula kelompok separatis pro-Rusia di sana. Belakangan kelompok pro-Rusia itu terlibat konfrontasi bersenjata dengan tentara Ukraina, terutama di Donbass. Pada 2015, Rusia dan Ukraina, bersama Prancis serta Jerman, menyepakati Minsk Agreements.
Salah satu poin dalam perjanjian itu adalah dilaksanakannya gencatan senjata total di wilayah timur Ukraina. Namun Moskow dianggap tak mematuhi dan memenuhi sepenuhnya perjanjian tersebut. Hal itu menyebabkan Rusia dijatuhi sanksi ekonomi oleh Uni Eropa.