Psikolog Jelaskan Faktor Terjadinya Pelecehan Seksual pada Anak di Keluarga
Kejadian ini awalnya diketahui oleh guru BK setelah korban bercerita karena tertekan.
REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA -- Pelecehan seksual khususnya yang terjadi pada anak masih banyak terjadi, termasuk di DIY. Bahkan, belum lama ini terjadi tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh seorang ayah kepada anak kandungnya di Kabupaten Bantul, DIY.
Psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM), R.A. Yayi Suryo Prabandari pun menjelaskan faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya pelecehan seksual dalam keluarga. Menurutnya, salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya pelecehan seksual pada anak karena hubungan yang tidak harmonis antara orang tua dengan anak dan adanya konflik dalam keluarga itu sendiri.
"Di beberapa kasus, (terjadinya pelecehan seksual pada anak) karena ada konflik suami istri dan kemudian juga ada atmosfer yang tidak terlalu harmonis," kata Yayi kepada Republika melalui sambungan telepon.
Hubungan yang tidak harmonis dalam keluarga, juga menyebabkan terjadinya kekerasan pada anak. Hal ini, menyebabkan anak memiliki ketakutan pada orang tua.
Seperti yang terjadi pada kasus di Bantul tersebut bahwa pelaku mengancam korban untuk dapat melakukan tindak pidana pencabulan. Berdasarkan keterangan kepolisian, korban pun tertekan secara psikologis.
"Kalau ada ketakutan berarti kan ada sesuatu, kalau keluarga solid maka tidak akan ada ketakutan. Harusnya ada treatment untuk itu," ujar Yayi.
Selain itu, pelecehan seksual ini juga dapat terjadi karena tidak adanya afeksi atau kasih sayang orang tua kepada anak. Di banyak kasus pelecehan seksual oleh ayah kepada anak dalam keluarga, kata Yayi, sang ibu mengetahui hal tersebut namun tidak dapat mengambil sikap.
"Istrinya tahu tapi diam, faktor utamanya juga karena tidak ada afeksi dari ibu ke anak perempuan, sehingga bapaknya mempunyai kesempatan," jelasnya.
Tidak hanya itu, faktor ekonomi juga menjadi faktor terjadinya pelecehan seksual dalam keluarga. Yayi menyebut, masih banyaknya pelecehan seksual yang terjadi di keluarga harus menjadi perhatian, terutama jika korban merupakan anak di bawah umur.
Terhadap korban, katanya, harus dilakukan pendampingan psikologis dan perlindungan. Upaya-upaya pencegahan pelecehan seksual dalam keluarga, juga harus dilakukan.
"(Pencegahan) Ini tidak mudah, mulai dari persiapkan kalau menikah itu sudah harus siap dua-duanya, parenting menyiapkan untuk jadi keluarga, sehingga pada saat merencanakan punya anak juga sudah siap dan membesarkan dengan baik. Kalau hubungan suami istri baik, maka suami tidak akan mencari keisengan, termasuk (mempersiapkan) sarana dan prasarana dalam artian siap secara ekonomi," ujar Yayi.
Seperti diketahui, Polres Bantul mengamankan seorang tersangka kasus tindak pidana pencabulan berinisial NY (50). Pria asal Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul, DIY tersebut melakukan tindak pidana pencabulan kepada anaknya yang masih di bawah umur dan adik iparnya sendiri.
Kapolres Bantul, AKBP Ihsan SIK mengatakan, pelaku diamankan pada Selasa (4/1) kemarin. Ihsan menjelaskan, pencabulan terhadap anaknya sendiri ternyata sudah dilakukan berulang-ulang sejak anak berinisial FD (17) tersebut menginjak kelas lima SD.
"Kalau keterangan dari korban setelah kita periksa, (tersangka) melakukan pencabulan lebih dari lima Kali (saat SD). Berlanjut saat korban menginjak kelas satu SMP lebih kurang tujuh kali dan berlanjut lagi saat korban saat sudah memasuki (pendidikan) di tingkat SMK," kata Ihsan.
Kejadian ini awalnya diketahui oleh guru BK setelah korban bercerita karena tertekan, yang akhirnya menyebabkan guru BK mengambil inisiatif dengan melaporkan ke pemerintah desa setempat, serta bhabinkamtibmas. Ihsan menyebut, korban sendiri awalnya sudah pernah melaporkan tindak pencabulan tersebut kepada keluarga yakni ibu dan kakaknya, namun tidak ditanggapi.
"Pendampingan dari psikolog harus kita maksimalkan, jangan sampai yang bersangkutan sudah menjadi korban dan kita lakukan pemeriksaan secara sembarangan, visum dan sebagainya menjadikan mental korban drop. Tentu akan kita laksanakan (pemeriksaan) tapi bertahap, menunggu kesiapan mental dari korban itu sendiri," ujarnya.
Tersangka pun dikenakan Pasal 82 Ayat 1 Jo 76 E dan Ayat 2 UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan kurungan penjara maksimal 15 tahun.
Terkait hubungan pelaku dengan adik iparnya, tidak dapat diproses hukum. Hal ini dikarenakan hubungan keduanya berakhir dengan motif suka sama suka.
Meskipun begitu, Satuan Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak (Satgas PPA) Kabupaten Bantul tetap melakukan pendampingan kepada seluruh korban.
"Berawal dari pemaksaan, tapi setelah itu saling suka. Pada saat kita proses itu ternyata judulnya saling suka, jadi tidak bisa (diproses). Kemudian kita minta istrinya melapor sebagai perzinahan, tapi istrinya tidak mau," kata Ketua Satgas PPA Bantul, M. Zainul Zain.
"Usianya sudah 36 tahun, jadi kita tidak bisa apa-apa lagi, tidak bisa kita jerat dengan (UU) perlindungan anak," tambahnya.