Benarkah Mengkritik Presiden Dilarang di RKUHP? Wamenkumham Membantah, Ini Bunyi Pasalnya

Draf final tentang RKUHP tetap mencantumkan pasal penghinaan terhadap presiden.

ANTARA/Aprillio Akbar
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej (kiri) menyerahkan naskah RUU KUHP dan RUU tentang Permasyarakatan yang telah disempurnakan kepada Wakil Ketua Komisi III DPR Adies Kadir (kanan) dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/7/2022). Komisi III dan Pemerintah dalam rapat kerja tersebut bersepakat untuk menyelesaikan Rancangan Undangan-Undangan (RUU) tentang Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) khususnya terkait dengan 14 isu krusial RUU KUHP sebelum diserahkan ke pembicaraan tingkat selanjutnya sesuai dengan mekanisme kententuan perundang-undangan.
Rep: Nawir Arsyad Akbar Red: Mas Alamil Huda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Draf final tentang Revisi Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (RKUHP) tetap mencantumkan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Namun, pemerintah memastikan, pasal tersebut hanya menjerat secara pidana terhadap individu yang menyerang kehormatan kepala negara.

Baca Juga


"Jadi yang dilarang itu penghinaan, bukan kritik," ujar Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej, di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (6/7/2022).

Dalam draf RKUHP yang diterima Republika.co.id, penyerangan terhadap kehormatan presiden dan wakil presiden berada dalam Pasal 218, Pasal 219, dan Pasal 220. Dalam Pasal 218 Ayat 1 dijelaskan, setiap orang yang menyerang harkat dan martabat presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Namun, pemerintah menambahkan Ayat 2 dalam Pasal 218 yang menjelaskan, tidak merupakan penghinaan jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri. Dalam 'Bab Penjelasan' dijabarkan, yang dimaksud dengan "dilakukan dengan kepentingan umum" adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi, misalnya melalui kritik atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan presiden atau wakil presiden.

Definisi kritik juga dimasukkan ke dalam bagian Penjelasan Pasal 218 Ayat 2. Terdapat tiga definisi dari kritik, pertama adalah menyampaikan pendapat terhadap kebijakan presiden dan wakil presiden yang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk kebijakan tersebut.

"Kritik bersifat konstruktif dan sedapatnya mungkin memberikan suatu alternatif maupun solusi dan/atau dilakukan dengan cara yang objektif," tertulis dalam Bab Penjelasan Pasal 218 Ayat 2.

Selanjutnya, kritik mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan kebijakan atau tindakan presiden dan wakil presiden lainnya. Kritik juga dapat berupa membuka kesalahan atau kekurangan yang terlihat pada presiden dan wakil presiden atau menganjurkan pergantian presiden dan wakil presiden dengan cara yang konstitusional.

Terakhir, kritik tidak dilakukan dengan niat jahat untuk merendahkan atau menyerang harkat dan martabat dan/atau menyinggung karakter atau kehidupan pribadi presiden dan wakil presiden.

Adapun dalam Pasal 219 berbunyi, "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV."

Namun dalam Pasal 220 Ayat 1 ditegaskan, pasal penghinaan terhadap presiden bersifat delik aduan. Artinya, presiden atau wakil presiden sendirilah yang harus melaporkan jika dirinya merasa menerima penghinaan. Pasal 220 Ayat 2, "Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden."

Wakil Ketua Komisi III DPR Adies Kadir menilai, penyempurnaan di dalam RKUHP sudah sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini. "Dan yang pasti undang-undang ini tidak akan merugikan masyarakat dan sudah sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini," ujar Adies.

Kendati sudah disempurnakan, sembilan fraksi yang ada di Komisi III akan mengkaji kembali draf final RKUHP. Untuk selanjutnya akan kembali dibahas bersama Kemenkumham, khususnya terkait 14 poin krusial di dalamnya.

"KUHP masih lanjutan ada 14 bahas isu krusial dan terkait 14 isu krusial, dan tidak bisa masuk ke dalam batang tubuh, dan akan masuk dalam pembahasan isu krusial," ujar Adies.

RKUHP, jelas Adies, kemungkinan besar tak akan disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna penutupan masa sidang DPR pada Kamis (7/7/2022). Pasalnya, pihaknya tentu masih perlu melakukan pendalaman bersama Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly.

"Terkait dengan Undang-Undang KUHP, kita masih butuh diskusi dengan Kementerian Hukum dan HAM dan seluruh jajaran yang terkait," ujar Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu.

Kemenkumham telah menyerahkan hasil perbaikan RKUHP kepada Komisi III DPR. Namun, Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan, kemungkinan besar draf tersebut tak disahkan menjadi undang-undang pada Kamis (7/7/2022) atau hari ini, yang merupakan rapat paripurna penutupan masa sidang DPR.

"Tidak jadi kesimpulan rapat Komisi III dengan pemerintah bahwa RUU KUHP (akan disahkan besok). Yang pertama kan pemerintah sudah menyerahkan penyempurnaan draf RUU KUHP pada Komisi III," ujar Edward.

Ia menjelaskan, RKUHP merupakan carry over atau operan dari DPR periode sebelumnya yang masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022. Pemerintah disebutnya tak terburu-buru untuk mengesahkannya.

"Yang jelas dia masuk Prolegnas 2022, sampai 31 Desember 2022, masih ada waktu," ujar Edward.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler