Persepsi Negatif Publik Terhadap Ferdy Sambo dalam Survei

Mayoritas publik percaya Brigadir J dibunuh karena alasan tertentu.

Republika/Thoudy Badai
Jurnalis mengambil gambar layar yang menampilkan mantan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo saat menjalani sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) di gedung TNCC Mabes Polri, Jakarta, Kamis (25/8/2022). Sidang kode etik yang digelar secara tertutup tersebut menghadirkan sejumlah saksi diantaranya mantan Karopanimal, Brigjen Hendra Kurniawan, mantan Karopaminal, Eks Karoprovos, Brigjen Benny Ali, Mantan Kapolres Jakarta Selatan, Kombes Budhi Herdi, Mantan Kaden A Biro Paminal, Kombes Agus Nurpatria, dan eks Kabag Gakkum Roprovost Divpropam Polri, Kombes Susanto. Republika/Thoudy Badai
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizkyan Adiyudha

Baca Juga


Indikator Politik Indonesia (IPI) hari ini merilis hasil survei terkait kasus dugaan pembunuhan Brigadir Novriansyah Yoshua Hutabarat (J) dengan tersangka utama Irjen Polisi Ferdy Sambo. Hasil survei menyimpulkan, mayoritas publik percaya Brigadir J dibunuh oleh Sambo dkk dan menilai Sambo pantas dihukum mati.

"Kalau publik mereka bilang, motif ancaman atau pelecehan tak bisa diterima," kata Direktur Ekesekutif IPI, Burhanuddin Muhtadi dalam paparan surveinya di Jakarta, Kamis (25/8/2022).

Hasil survei mendapati bahwa, 65,4 persen masyarakat mengetahui tuduhan terhadap almarhum Brigadir J terkait ancaman pengancaman dan pelecehan seksual terhadap istri Ferdy Sambo. Hanya 34,6 persen saja yang mengaku sebaliknya.

Sebanyak 52,6 persen dari 65,4 persen orang yang mengetahui, tidak percaya sama sekali dengan tudingan ancaman dan pelecehan seksual tersebut dan 33,6 persen kurang percaya. Sedankgan, sebesar 7,9 persen mengaku cukup percaya dan 1,9 persen sangat percaya.

Sebaliknya, mayoritas masyarakat atau 53,2 persen mengaku pernah mendengar kabar bahwa Brigadir J beberapa kali mendapat ancaman pembunuhan. Sekitar 46,8 persen mengaku tidak pernah mendegar berita ancaman pembunuhan tersebut.

Dari angka yang mengaku pernah mendengar, sebesar 50,6 persen percaya ancaman tersebut dan 36,4 persen sangat percaya. Sedangkan sebesar 8,8 persen kurang percaya dan 1,1 persen tidak percaya sama sekali. Sementara 3,1 persen sisanya tidak tahu atau tidak menjawab.

Survei juga mengangkap 81,8 persen publik percaya bahwa Brigadir J tewas dibunuh karena alasan tertentu. Hanya 10 persen yang beranggapan bahwa Brigadir J meninggal akibat baku tembak karena didapati melakukan pengancaman dan pelecehan seksual terhadap istri atasannya.

"Mayoritas warga menginginkan motif pembunuhan terhadap Brigadir J segera diungkap kepada khalayak," kata Burhanuddin lagi.

Lantaran percaya Brigadir J dibunuh dengan alasan tertentu, hasil survei IPI juga mendapati bahwa, masyarakat ingin agar Ferdy Sambo dihukum mati. Hal itu sesuai dengan ancaman hukuman maksimal pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.

"Mayoritas menilai Ferdy Sambo pantas dihukum mati," kata Burhanuddin.

Burhanuddin memaparkan hasil survei mendapat bahwa 54,9 persen publik menilai Irjen Ferdy Sambo pantas mendapatkan hukuman mati. Sedangkan 26,4 persen masyarakat ingin agar kadiv Propam nonaktif itu dipenjara seumur hidup.

Hanya 3,4 persen yang berpendapat tersangka Ferdy Sambo pantas dihukum 20 tahun kurungan dan 5,2 persen menjawan hukuman lainnya. Sedankgan, 10,1 persen mengaku tidak tahu atau tidak menjawab.

Baca juga : Puja-Puji dan Apresiasi DPR untuk Kapolri Vs Turunnya Tingkat Kepercayaan Publik ke Polri

Survei juga mendapat bahwa 75 persen orang mengetahui kabar Ferdy Sambo merekayasa kematian Brigadir J. Dari angka tersebut, sebanyak 40,5 persen diantaran mengaku cukup percaya dan 35,1 persen sangat percaya. Sedangkan 11,2 persen kurang percaya dan 4,1 persen tidak percaya.

"Mayoritas warga juga cukup dan sangat percaya bahwa Ferdy Sambo telah merekayasa peristiwa tewasnya Brigadir J tersebut, sekitar 75-76 persen," kata Burhanuddin lagi.

Survei dilakukan terhadap sekitar 83 persen WNI dari total populasi nasional yang berusia 17 tahun ke atas atau sudah menikah dan memiliki telepon. Pemilihan sampel dilakukan melalui metode random digit dialing terhadap 1.229 responden yang dipilih secara acak, tervalidasi dan skrining.

Wawancara terhadap responden dilakukan melalui telepon oleh pewawancara yang dilatih. Margin of error survei diperkirakan sekitar 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen, asumsi simple random sampling.

 


 

Institusi Polri ikut terkena imbas dari kasus yang menjerat Ferdy Sambo. Berdasarkan survei IPI, tingkat kepercayaan publik terhadap kepolisian mengalami penurunan.

Berdasarkan hasil survei, kepolisian saat ini berada di posisi paling buncit dengan tingkat kecepcayaan sebesar 54,2 persen. Setingkat di atas kepolisian adalah Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) dengan tingkat kepercayaan 58,8 persen sedangkan lembaga paling dipercaya adalah kejaksaan (63,4 persen).

Dalam survei yang dilakukan September 2020 lalu, kepolisian memiliki tingkat kepercayaan 73,5 persen. Tingkat kepercayaan itu menurun pada April 2022 ke level 71,6 persen. Angka itu mulai merosot pada Mei 2022 ke angka 66,7 persen dan terus merosot hingga ke posisi survei saat ini.

Burhanuddin mengatakan, secara umum publik menilai buruk keadaan penegakan hukum di Indonesia saat ini. Perinciannya, sebesar 37,7 persen publik menilai kinerja penegakan hukum buruk. Sebaliknya sekitar 29,5 persen menilai baik.

Dia melanjutkan, persepsi positif menunjukkan tren penurunan yang cukup tajam sepanjang tahun 2022, sekitar 14-15 persen. Sebaliknya, persepsi negatif menunjukkan tren peningkatan dengan kisaran yang kurang lebih sebanding, 14-16 persen.

"Jadi isu Sambo ini membuat persepsi publik terhadap penegakan hukum itu memburuk," katanya.

Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mengaku bakal mendorong reformasi di tubuh kepolisian. Komisioner Kompolnas Wahyurudhanto mengaku telah ditugas Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD untuk membuat analisis terkait kasus pembunuhan tersebut.

"Karena reformasi di Polri yang punya tiga aspek instrumental, struktral dan kultural dan yang pada aspek kulutral itu nggak jalan," kata Wahyurudhanto di Jakarta, Kamis.

Dia mengakui bahwa aspek kulutral di tubuh kepolisian memang terasa kental. Wahyurudhanto yang merupakan pengajar di PTIK ini mengungkapkan bahwa sembilan dari 35 orang yang ditahan terkait kasus Ferdy Sambo ini meruapkan sosok yang berkompetensi secara akademik.

"Tapi begitu masuk ke lingkungan, tadi ke kerajaan Sambo, yang dimaksud pak Mahfud bukan dalam arti uang tapi dinasti di Propam itu kuat sekali karena mereka polisi, jaksa dan hakim sekaligus," katanya.

Dia menilai saat ini reformasi kepolisian terlebih dari aspek kultural ini masih belum berjalan. Dia mengatakan, hal tersebut jelas terlihat ketika seorang perwira berpangkat Kombes, AKBP hingga Kompol ini diperintah Ferdy Sambo untuk melakukan hal yang keliru.

"Harusnya ketia diperintah yang salah dia tidak melakukan. Ini kan levelnya perwira semua," katanya.

Hal tersebut semakin jelas ketika berkaitan dengan olah TKP pembunuhan Brigadir J. Dia menjelaskan, anggota kepolisian baru melakukan olah TKP secara profesional ketika disinggung obstruction of justice oleh Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo.

"Ini (olah TKP) level sederhana yang bintara saja sudah tahu masa ini perwira sampai nggak terlaksana," katanya.

 

Motif Pembunuhan Brigadir J - (Republika)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler