Denmark Klasifikasi Penduduk Beragama Islam

Para kritikus sebut klasifikasi sebagai upaya untuk lebih mendiskriminasi komunitas.

cbslife.dk
Muslimah Denmark
Rep: Zahrotul Oktaviani Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, COPENHAGEN -- Sebuah daftar baru yang aneh muncul di Denmark untuk mengkategorikan Muslim, berdasarkan negara asal mereka. Hal ini menjadi inti dari apa yang oleh para kritikus sebut sebagai upaya untuk lebih mendiskriminasi komunitas.

Baca Juga


Dua tahun lalu, mantan Menteri Imigrasi dan Integrasi Denmark Mattias Tesfaye ingin mengetahui apakah ada hubungan antara asal latar belakang orang dan bagaimana mereka muncul dalam statistik kejahatan dan ketenagakerjaan kementerian. Hal ini menyebabkan Tesfaye mengawasi pembuatan ukuran statistik baru dan tidak biasa, MENAPT atau MENA (Timur Tengah dan Afrika Utara), Pakistan dan Türkiye.

Klasifikasi ini berbeda dari klasifikasi untuk negara-negara non-Barat yang sudah digunakan oleh Statistik Denmark. Otoritas pusat ditugaskan untuk mengumpulkan, menyusun dan menerbitkan statistik tentang masyarakat Denmark.

MENA (Timur Tengah dan Afrika Utara) merupakan sebuah instilah kontroversial dan konstruksi Eropa, yang bertujuan menyatukan negara-negara berpenduduk puluhan juta dalam kelompok tersendiri, untuk kebutuhan kebijakan luar negeri mereka sendiri.

Istilah MENA juga dipandang sebagai warisan kolonial, karena Kantor British India-lah yang pertama kali menciptakan istilah 'Timur Tengah' pada 1850-an. Kemudian ini dipopulerkan oleh Alfred Thayer Mahan, seorang advokat terkenal kekuatan angkatan laut Amerika.

 

 

Seorang fakultas di Jamia Millia Islamia, Dr Etee Bahadur, menulis di OpIndia bahwa nomenklatur 'Timur Tengah' agak mengingatkan pada Eurosentrisme. “Lagi pula, wilayah itu bisa disebut ‘Timur Tengah’ hanya jika dilihat dari Eropa," tulisnya dikutip di TRT World, Kamis (20/10/2022).

Jika dilihat secara geografis, wilayah yang termasuk dalam kawasan ‘Timur Tengah’ sebenarnya berada di sepanjang pinggiran barat Asia.

Hal baru dalam daftar Denmark adalah negara ini telah menargetkan beberapa negara dan hanya mereka yang berpenduduk mayoritas Muslim, yang mana daftar negara ini tidak pernah diklasifikasikan dalam ruang yang sama sebelumnya.

Misalnya, Israel gagal menemukan tempat dalam daftar Denmark, begitu juga Eritrea dan Ethiopia meskipun secara geografis ditempatkan di antara Mesir, Somalia dan Djibouti. Israel, Eritrea dan Ethiopia bukan negara dengan mayoritas Muslim, tidak seperti Mesir, Somalia dan Djibouti.

Meskipun daftar itu baru diperkenalkan pada 2020, namun sejak itu telah menjadi bagian penting dari retorika politik negara. Selain itu, peraturan kewarganegaraan baru yang diberlakukan tahun lalu menunjukkan pelamar dari negara-negara MENAPT akan dinilai secara terpisah dari rekan-rekan mereka dalam daftar non-Barat.

Kritikan terhadap MENAPT menyebut hal ini sebagai upaya yang dapat mengarah pada diskriminasi lebih lanjut terhadap Muslim yang tinggal di Denmark, terutama mereka yang termasuk dalam daftar negara.

 

 

Seorang sosiolog yang menulis tentang rasisme, rasialisasi dan spasialisasi anti-Muslim, Dr Amani Hassani, mengatakan kekhawatiran kategori MENAPT akan menjadi bagian dari evaluasi aplikasi kewarganegaraan. “Beberapa politisi yang merupakan bagian dari komite persetujuan kewarganegaraan dalam beberapa tahun terakhir telah mengakui mereka memilih pelamar yang berasal dari negara mayoritas Muslim,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menyebut jika politisi mendapatkan alat statistik yang jelas untuk membedakan antara pelamar Muslim dari pelamar non-Barat lainnya, mereka akan dapat menolak aplikasi kewarganegaraan dari Muslim dengan sedikit pengawasan. 

Hassani juga mengatakan kategori tersebut telah digunakan oleh Statistik Denmark untuk membedakan antara imigran dan keturunan non-Barat dan MENAPT, dalam hal tingkat pekerjaan dan tingkat kemiskinan.

“Tidak sulit membayangkan bagaimana pemerintah akan dapat menafsirkan angka-angka ini sebagai cara untuk menargetkan undang-undang dan kebijakan terhadap imigran dan keturunan Muslim,” lanjut dia.

Dalam European Islamophobia Report 2021 yang dirilis akhir bulan lalu, di mana Hassani menulis sebuah bab tentang Denmark, menyoroti daftar MENAPT sebagai hambatan struktural bagi Muslim yang meningkat melalui kebijakan dan undang-undang baru di Denmark.

Ia menyebut kategori tersebut memungkinkan pemerintah untuk secara khusus menargetkan warga Muslim, dengan menyimpulkan kemusliman mereka berdasarkan negara asal. Daftar ini juga memungkinkan politisi untuk secara eksplisit mendiskriminasi pelamar kewarganegaraan Muslim dengan sedikit pengawasan publik.

Pada 2021, sebuah laporan yang diterbitkan oleh Institut Hak Asasi Manusia Denmark mengungkapkan 35 persen dari semua keturunan migran tidak memiliki kewarganegaraan Denmark, banyak di antaranya adalah Muslim dan lahir di Denmark. Kondisi ini menghambat prospek mereka berpartisipasi dalam permainan yang seimbang sebagaimana rekan Denmark mereka yang lain.

Ketika Tesfaye melanjutkan rencananya untuk menerapkan daftar MENAPT, dia berpendapat angka-angka baru atau statistik yang keluar akan memberikan diskusi politik yang lebih jujur tentang minoritas imigran yang menciptakan tantangan yang sangat besar bagi masyarakat.

 

 

Pada 1 Januari 2020, orang-orang yang termasuk dalam daftar MENAPT terdiri lebih dari 54 persen dari semua orang non-Barat yang tinggal di Denmark.

Hassani pun mengatakan, meski sikap anti-Muslim terwakili di seluruh spektrum politik Denmark, ada perbedaan di antara politisi dalam cara mereka mengkategorikan Muslim 

"Beberapa politisi di sayap kanan cenderung melihat semua Muslim di Denmark pada dasarnya bermasalah, ada politik liberal yang membedakan antara ‘Muslim yang baik’ dan ‘Muslim yang buruk’,” ujar dia.

 Yang dimaksud Hassani adalah Muslim yang pergi ke sekolah, bekerja, mengadopsi nilai-nilai Denmark dan tidak meminta terlalu banyak akomodasi keagamaan dianggap “baik”.

Tetapi pada saat yang sama, Muslim yang tidak mandiri secara finansial (dari kesejahteraan), yang tidak mampu pindah dari perumahan sosial, yang kesulitan berbicara dalam bahasa Denmark atau yang ‘keMuslimannya’ terlalu terlihat, sering difitnah.

"Dengan kata lain, jika Anda bukan seorang Muslim produktif yang sukses, Anda menjadi masalah karena kemusliman Anda,” lanjut Hassani.

Referensi Tesfaye ke minoritas imigran sebagai tantangan bagi masyarakat Denmark adalah bagian dari dan mewakili wacana politik, yaitu melestarikan dan menjaga nilai-nilai Denmark.

Hassani pun mengatakan ini adalah tren yang banyak muncul di seluruh Eropa. Langkah ini berubah menjadi pendekatan etnonasionalis untuk memahami budaya dan nilai-nilai nasional.

Secara historis, negara-negara Barat memutarbalikkan diri mereka melawan Islam dan Muslim, untuk mendefinisikan 'nilai-nilai liberal' mereka sendiri. Menurut Hassani, ini bukan hanya cara untuk mengesahkan nilai-nilai Denmark untuk mengecualikan ekspresi alternatif Denmark, tetapi sering juga merupakan proses yang sangat rasialis, nilai-nilai liberal kita vs nilai-nilai tidak liberal mereka. 

 

“Tidak mengherankan jika nilai-nilai Denmark disajikan secara kontras dengan Muslim. Nilai-nilai Muslim direpresentasikan sebagai anti-demokrasi, terbelakang dan tidak setara, sedangkan nilai-nilai Denmark adalah demokratis, progresif dan setara. Nilai-nilai Muslim dengan demikian direpresentasikan sebagai nilai-nilai yang secara inheren anti-Denmark," ujar dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler