Praktisi Hukum Ungkap Tiga Alasan Bharada Eliezer BIsa Divonis Lebih Ringan

Jaksa tegaskan bahwa tuntutan yang diajukan Bharada E sudah sesuai.

Republika/Thoudy Badai
Terdakwa Richard Eliezer alias Bharada E bersiap menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (21/11/2022). Sidang perkara dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah tersebut sempat ditunda selama sepekan saat pelaksanaan KTT G20 lalu, kini kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sidang tersebut beragendakan pemeriksaan sebanyak 11 saksi yang dihadirkan oleh jaksa penuntut umum diantaranya anggota Polri dan pegawai swasta. Republika/Thoudy Badai
Rep: Bambang Noroyono Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Majelis hakim dapat menjatuhkan vonis dan pidana di luar tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap terdakwa Bharada Richard Eliezer (RE). Praktisi Hukum Pidana Boris Tampubolon mengatakan, penuntutan terhadap terdakwa, itu memang menjadi hak dan kewenangan jaksa.

Baca Juga


Namun tuntutan bukanlah sebuah keputusan final dari proses hukum. Tuntutan itu, hanya permintaan dari jaksa kepada majelis hakim, yang pada akhirnya majelis hakim yang akan memutuskan.

Hakim dapat memutuskan sesuai tuntutan jaksa, atau lebih berat. Pun bisa diputus lebih ringan, atau bahkan melepaskan, dan membebaskan terdakwa.   

“Dalam konteks tuntutan terhadap terdakwa Bharada E (Richard), sebenarnya hakim punya sedikitnya tiga alasan untuk nantinya menghukum Bharada E dengan hukuman yang lebih ringan, atau bahkan diputuskan untuk dilepaskan atau dibebaskan,” kata Boris dalam keterangannya, Jumat (20/1).

Alasan pertama yang dapat dijadikan hakim dalam memutus Richard lebih ringan, yakni terkait perannya sebagai justice collaborator (JC) dalam pengungkapan kasus pembunuhan berencana di Duren Tiga 46 Jakarta Selatan (Jaksel) itu.

Terdakwa Richard, menurut Boris semestinya dilindungi dengan Pasal 10 A ayat 3 UU Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) 31/2014. Beleid tersebut kata Boris menerangkan, terdakwa sebagai saksi pelaku, dapat diberikan penghargaan atas kesaksiannya dalam pengungkapan kejahatannya.

Penghargaan terkait kesaksiannya tersebut, dapat berupa keringanan dalam penjatuhan pidana. Bentuk keringanan penjatuhan pidana tersebut, kata Boris, menurut aturan itu, bisa berupa pidana percobaan, pidana bersyarat khusus, atau penjatuhan pidana paling ringan dari semua terdakwa yang terkait.  

Menurutnya, bila hakim nantinya punya penilaian yang sama atas status terdakwa Richard sebagai JC, maka hakim, bisa menggunakan dalil Pasal 10 A ayat 3 UU 31/2014 itu, untuk memberikan putusan lebih ringan dari tuntutan jaksa. Pun lebih ringan dari semua terdakwa. “Status JC terdakwa Bharada E, seharusnya dapat menjadi alasan hakim memvonis terdakwa Bharada E lebih ringan dari semua terdakwa,” terang Boris.

Alasan lainnya yang dapat membuat hakim memutuskan menjatuhkan hukuman lebih ringan, dengan melihat peran, serta perbuatan Richard dalam rangkaian peristiwa penembakan Brigadir J itu. Fakta persidangan yang terbukti bahwa perbuatan Richard menembak Brigadir J di Duren Tiga 46, atau perintah dari terdakwa Ferdy Sambo sebagai atasan.

Richard adalah ajudan Ferdy Sambo. Saat peristiwa terjadi, Sambo masih aktif sebagai Kadiv Propam Polri dengan pangkat Inspektur Jenderal (Irjen). Boris mengatakan, Pasal 51 ayat (1) KUH Pidana menerangkan tentang perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan atasan, atau penguasa, tak dapat dipidana.

Pasal 51 ayat (2) KUH Pidana, kata Boris mengatakan, perintah jabatan tanpa wewenang, yang memang tak menghapuskan pidana.

Namun lanjutan aturan ayat (2) tersebut mengatakan, penghapusan pidana itu tetap akan ada, jika yang menerima perintah, dengan i’tikad baik mengira perintah tersebut diberikan dengan kewenangan, yang masuk dalam lingkungan pekerjaannya.

Boris mengatakan, Pasal 51 KUH Pidana itu sebetulnya untuk melindungi orang-orang yang berada dalam posisi sebagai bawahan dalam satu peristiwa tindak pidana. Richard, adalah ajudan Ferdy Sambo paling junior dengan pangkat Bharada. Sementara perintah penembakan itu, dikatakan Boris, berasal dari ucapan Ferdy Sambo dengan kepangkatan yang lebih tinggi.

Menurut Boris, keliru jika tetap memidanakan seorang bawahan yang menjalankan perintah atasan, meskipun perintah atasan tersebut diketahui melanggar aturan, dan tak sesuai kewenangannya. Karena menurut dia, jika perintah atasan itu sesuai aturan, dan kewenangannya, maka tak akan pernah terjadi masalah hukum.

“Justru keberadaan Pasal 51 KUH Pidana itu untuk melindungi orang-orang seperti Bharada E ini yang posisinya sebagai bawahan dengan kepangkatan paling rendah, dan tidak bisa melawan terhadap komandan atau atasannya,” terang Boris.

Sebab itu, menurut Boris, majelis hakim dapat mengambil kesimpulan yang sama atas interpretasi dan substansi Pasal 51 KUH Pidana tersebut dengan meniadakan pidana terhadap Richard. “Bila hakim merupakan anak buah, yakni polisi berpangkat paling rendah, kemudian diperintah oleh seorang jenderal. Dan dalam menjalankan perintah tersebut tidak ada niat jahat atau mens rea, motif dendam pada diri yang menjalankan perintah, atau murni hanya menjalankan perintah, maka terhadap Bharada E ini, dapat dilepaskan, atau tidak dipidana,” begitu terang Boris.

 

Alasan lain yang dapat membuat terdakwa Richard dihukum lebih ringan, atau bahkan dilepas, terkait dengan kondisi psikologisnya saat melaksanakan perintah pembunuhan tersebut. “Fakta persidangan dijelaskan tentang kondisi terdakwa Bharada E yang menembak Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat, karena berada di bawah tekanan, atau adanya daya paksa dari yang memberikan perintah. Dalam hal tersebut, adalah atasannya,” begitu sambung Boris.

Terkait itu, Pasal 48 KUH Pidana memastikan tak ada pidana bagi seseorang yang melakukan tindak pidana, namun berada dalam tekanan, atau pengaruh paksa orang lain.

Boris menerangkan, substansi Pasal 48 KUH Pidana tersebut menyangkut soal alasan pemaaf atas perbuatan pidana yang dilakukan seseorang. “Dalam hal ini terkait dengan sikap batin dari pelaku,” begitu kata Boris.

Menurut dia, seseorang hanya dapat dipidana jika memang ada niat jahat atau mens rea, atas perbuatannya (actus reus). Dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J, Boris menilai, tak tampak bukti terdakwa Richard melakukan perbuatan menembak Brigadir J, atas dasar niat jahat. Melainkan perbuatan itu dilakukan karena paksaan, dan keterpaksaan.

“Jadi bila hakim berpendapat Bharada E melakukan penembakan karena berada di bawah tekanan, baik fisik maupun psikis, dan dilakukan karena daya paksa dari seseorang, dalam hal ini dalah terdakwa Ferdy Sambo, artinya sebenarnya, terdakwa Bharada E tidak ada niat jahat untuk merampas nyawa almarhum Brigadir J. Maka hakim dapat melepaskan, dan tidak memidanakan terdakwa Bharada E,” terang Boris menambahkan.

Terdakwa Richard dalam kasus pembunuhan Brigadir J dituntut penjara 12 tahun oleh JPU, Rabu (18/1). Tuntutan JPU tersebut mendapat kecaman dari publik karena dinilai terlalu tinggi. Melihat peran terdakwa Richard adalah sebagai terdakwa yang dinilai sebagai justice collaborator (JC) yang bekerjasama dengan penyidik, maupun persidangan, untuk menguak fakta kejadian yang sebenarnya. Tuntutan 12 tahun penjara tersebut, pun lebih tinggi dari tiga terdakwa lainnya, yakn Putri Candrawathi, Kuat Maruf, dan Ricky Rizal yang dituntut masing-masing 8 tahun penjara.

Namun tuntutan terhadap Richard itu lebih ringan dari tuntutan jaksa terhadap terdakwa Ferdy Sambo. JPU dalam tuntutan terhadap Ferdy Sambo meminta majelis hakim menghukum mantan Kadiv Propam Polri itu dengan hukuman pidana penjara seumur hidup. Namun kecaman publik atas tuntutan berat terhadap terdakwa Richard itu, mentah bagi jaksa.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung (Kejakgung) Fadil Zumhana mengatakan, tuntutan 12 tahun terhadap Richard itu terbilang ringan. Karena JPU, kata dia, menjadikan tuntutan seumur hidup terhadap Ferdy Sambo sebagai acuan.

Fadil mengatakan, tuntutan 12 tahun untuk terdakwa Richard itu, pun setelah timnya menerima rekomendasi keringanan tuntutan yang diajukan LPSK. LPSK dalam rekomendasinya meminta jaksa mempertimbangkan status Richard sebagai JC. “Kalau tidak ada rekomendasi dari LPSK, mungkin akan lebih dari itu (12 tahun). Tetapi kita sampaikan, tuntutan terhadap terdakwa RE (Richard Eliezer) itu lebih rendah dari terdakwa FS (Ferdy Sambo),” ujar Fadil di Gedung Jampidum-Kejakgung, Jakarta, Kamis (19/1).

 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler