Terbiasa Puasa Intermiten, Orang Berisiko Binge-Eating Kemudian Hari
Puasa intermiten tampak memengaruhi kebiasaan makan sehat di masa depan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puasa intermiten alias intermitten fasting telah menjadi strategi penurunan berat badan yang populer selama dekade terakhir. Namun, sebuah studi baru dari Texas A&M University yang diterbitkan dalam jurnal Appetite menunjukkan bahwa hal itu dapat meningkatkan risiko binge-eating dan gangguan makanan lainnya kemudian hari.
Binge-eating berarti menyantap makanan dalam porsi besar secara teratur dalam waktu singkat sampai merasa begah. Penulis studi, Jordan Schueler yang merupakan kandidat PhD di Departemen Ilmu Psikologi dan Otak di Texas A&M, mulai mengembangkan studi baru pada 2019.
Schueler mengatakan bahwa tidak banyak informasi tentang efek psikologis puasa intermiten. Namun, ada dampaknya pada hasil medis, seperti berat badan dan kolesterol.
"Saya tertarik untuk melihat apakah bentuk khusus dari diet terbatas waktu ini, di mana orang mungkin mengabaikan isyarat lapar untuk waktu yang lama, juga dapat menyebabkan makan berlebihan," ujar Schueler, dilansir Fox News, Ahad (5/2/2023).
Ada beberapa jenis puasa berkala. Tetapi semuanya mengikuti konsep yang sama, yaitu bergantian antara puasa dan makan.
Dengan pendekatan makan yang dibatasi waktu, pelaku diet hanya bisa mengisi perut selama jendela tertentu. Misalnya, dengan metode 16/8, orang tersebut berpuasa selama 16 jam dan kemudian dapat makan dalam rentang waktu delapan jam antara pukul 10.00 hingga pukul 18.00 WIB.
Para peneliti yang terlibat dalam studi baru mencermati sampel dari hampir 300 mahasiswa sarjana. Di antara peserta, 23,5 persen saat ini berpartisi dalam puasa intermiten, 16 persen pernah mencoba puasa intermiten, dan 61 persen tidak pernah puasa intermiten sebelumnya.
Mereka yang pernah puasa intermiten pada masa lalu tampak lebih mungkin untuk terlibat dalam binge eating daripada mereka yang tidak pernah berpuasa intermiten. Schueler mengatakan, apa pun yang memaksa tubuh ke dalam pola makan yang tidak normal memiliki potensi untuk gangguan makan.
"Salah satu penjelasannya adalah mereka yang secara aktif terlibat dalam puasa intermiten mungkin masih bisa 'berhasil' terlibat dalam kekakuan dan pengendalian diri seputar perilaku makan mereka," katanya.
Namun, menurut Schueler, mengalami rebound effect setelah pembatasan kalori yang parah, di mana makan berlebihan terjadi, memang hal lazim. Temuan timnya menunjukkan bahwa meskipun puasa intermiten tampaknya menjadi faktor risiko untuk makan berlebihan saat seorang secara aktif terlibat dalam diet, itu mungkin memiliki efek yang bertahan lama pada hubungan seseorang dengan makanan.
Baca juga : Kuku Kaki Berubah Warna Jadi Kuning, Biru, atau Hitam, Gejala Penyakit Apa?
Dilansir RxList, rebound effect adalah produksi gejala negatif yang meningkat ketika efek terapi telah berlalu atau pasien tidak lagi merespons suatu terapi. Studi ini juga menemukan bahwa puasa intermiten cenderung tidak menyesuaikan dengan rasa lapar internal dan isyarat kenyang.
Puasa intermiten cenderung memberi pelakunya lebih sedikit izin untuk makan. Dengan kata lain, menurut Schueler, puasa intermiten jauh dari pemakan intuitif.
"Daripada mengandalkan persepsi bawaan tubuh mereka, asupan mereka ditentukan oleh aturan eksternal," kata Schueler.
Jendela makan
Temuan penelitian ini tidak mengejutkan Lauren Harris-Pincus, ahli gizi terdaftar yang telah berpraktik selama lebih dari 25 tahun di wilayah New York/New Jersey. Harris-Pincus sepakat bahwa puasa intermiten dapat mempromosikan kebiasaan tidak sehat dengan menekan isyarat lapar internal.
"Apa pun yang memaksa tubuh ke dalam pola makan yang tidak normal memiliki potensi gangguan makan," katanya dalam sebuah wawancara.
Beberapa ahli tidak menganggap puasa intermiten memiliki banyak manfaat penurunan berat badan jangka panjang dibandingkan pembatasan kalori standar.
"Jika Anda kelaparan pada pukul 11.00 tetapi harus menunggu sampai pukul 12.00 ketika 'jendela makan' Anda terbuka, itu agak konyol. Tidak masuk akal atau manjur untuk mengabaikan sinyal tubuh Anda demi sesuatu yang cukup aneh," ujar Harris-Pincus.
Sementara itu, ahli gizi terdaftar Tanya Freirich menuturkan bagi mereka yang sudah memiliki citra tubuh buruk, puasa intermiten dapat dengan mudah memicu gangguan makan. Namun, Freirich percaya puasa intermiten dapat menjadi gaya hidup yang sehat dan berkelanjutan bagi sebagian orang, terutama jika mereka makan pertama kali di pagi hari untuk mendorong aktivitas mereka dan menetapkan jendela makan delapan jam atau lebih.
Misalnya, sarapan pada pukul 08.00 dan makan malam pada pukul 18.00. Ini berarti orang memilki jendela makan 10 jam, dengan puasa 14 jam,
Di sisi lain, Freirich tidak merekomendasikan teknik ini untuk penderita diabetes, orang yang rentan terhadap tekanan darah rendah, dan ibu hamil atau menyusui. Orang yang memiliki riwayat gangguan makan juga tak dianjurkan menjalani puasa intermiten.
Tanda-tanda peringatan gangguan makan
Freirich mengatakan mereka yang melakukan puasa intermiten harus berhati-hati dengan tanda bahaya yang mungkin membelokkan mereka ke perilaku makan yang tidak teratur. Contohnya, menjadi terlalu kaku tentang jam makan.
Orang mungkin merasa cemas, bersalah, atau malu jika mereka tidak dapat mengikuti batasan waktu. Tanda peringatan lainnya, adalah menarik diri dari acara sosial penting karena acara tersebut berlangsung di luar jendela makan yang ditentukan atau makan menjadi fokus pemikiran dominan bagi sebagian orang selama sepanjang hari.
Orang yang merasa sakit, lemas, atau pusing karena lapar juga berisiko mengalami gangguan makan. Tanda lain adalah mengonsumsi terlalu banyak selama waktu makan sehingga mereka merasa tidak nyaman kenyang atau kekenyanga, yang dapat mengindikasikan siklus pembatasan dan makan sebanyak-banyaknya, menurut Freirich.