Keterangan Palsu Mario Dandy Buat Penyidik Ubah Pasal, Ancaman Hukuman Penjara Bertambah

Ancaman hukuman maksimal untuk Mario Dandy kini menjadi 12 tahun penjara.

Ali Mansur/Republika
Tersangka kasus penganiayaan Mario Dandy Satriyo dihadirkan dalam rilis yang digelar Kepolisian di Polres Jakarta Selatan, pekan lalu. Mario Dandy kini dijerat pasal berlapis atas kasus penganiayaan terhadap korban berinisial CDO. (ilustrasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ali Mansur, Wahyu Suryana

Baca Juga


Penyidikan kasus penganiayaan oleh anak eks pejabat Direktorat Jenderal Pajak, Mario Dandy Satriyo (20 tahun), terus bergulir bak bola salju. Lantaran dinilai memberikan keterangan palsu saat diperiksa penyidik, pihak kepolisian kini mengubah pasal-pasal guna menjerat Mario.

"Di awal BAP (berita acara pemeriksaan) pelaku mengaku perkelahian, lalu bukti digital kami temukan bahwa dari bukti tersebut keterangan awal ada kebohongan," ujar Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Hengki Haryadi dalam konferensi pers, di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Kamis (2/3/2023).

Hengki menerangkan, sejumlah keterangan palsu itu diketahui setelah adanya perbedaan antara keterangan Mario dengan alat bukti baru. Adapun alat bukti baru tersebut diantaranya rekaman kamera pengawas atau CCTV di lokasi kejadian, chat WhatsApp, lalu rekaman video yang ada di handphone.

Dengan adanya alat bukti baru tersebut, menurut Hengki, maka ada perubahan konstruksi pasal terhadap tersangka Mario dan tersangka Shane Lukas Rotua Pangondian Lumbantoruan (19 tahun). Kini, Mario dijerat dijerat dengan pasal 355 KUHP ayat 1 subsider pasal 354 ayat 1 KUHP subsider 353 ayat 2 KUHP subsider 351 ayat 2 KUHP juncto pasal 76c juncto 80 Undang-undang Perlindungan Anak.

"Dengan ancaman maksimal 12 tahun penjara. Itu untuk MDS," kata Hengki menegaskan.

Sementara tersangka Shane, Pasal 355 ayat 1 KUHP  juncto 56 KUHP subsider 354 ayat 1 juncto 56 KUHP lebih subsider 353 ayat 2 juncto 56 KUHP lebih lebih subsider 351 ayat 2 juncto 56 KUHP dan atau 76c juncto 80 Undang-undang perlindungan anak.

Perkara ini pun dari yang tadinya disidik oleh Polres Jakarta Selatan kini diambil alih oleh Polda Metro Jaya. Hengki pun menyebut penganiayaan terhadap korban berinisial CDO (17 tahun) oleh Mario Dandy cs dilakukan secara terencana, bukan spontan.

"Kami melihat di sini bahwa dari bukti digital bahwa ini ada perencanaan sejak awal," ujar Hengki.

Bahkan menurut Hengki, aksi perencanaan penganiayaan sudah ada sejak tersangka Shane Lukas Rotua Pangondian Lumbantoruan  dihubungi oleh Mario. Kemudian perencanaan ini dikuatkan saat Mario, Shane, dan pelaku AGH (15 tahun) bertemu pada malam sebelum penganiayaan David.

"Pada saat mulai menelepon SL kemudian bertemu SL kemudian pada saat di dalam mobil bertiga ada mens rea niat di sana," kata Hengki menjelaskan.

 

 


Khusus untuk AGH statusnya ikut berubah dari saksi menjadi anak yang berkonflik dengan hukum atau pelaku anak. Sehingga, AGH dijerat dengan 76C juncto pasal 80 Undang-undang perlindungan anak dan atau 355 ayat 1 KUHP  juncto 56 KUHP subsider 354 ayat 1 juncto 56 KUHP lebih subsider 353 ayat 2 juncto 56 KUHP lebih lebih subsider 351 ayat 2 juncto 56 KUHP.

Namun, pihak penyidik tidak bisa melakukan penahanan terhadap yang bersangkutan karena terbentur Undang-undang (UU) Perlindungan Anak dan UU Peradilan Anak.

“Ada aturan secara formil yang memang harus kami taati yaitu amanat dari undang-undang. Kalau kami tidak melaksanakan kami salah," ujar Hengki.

Hal senada juga disampaikan oleh ahli hukum pidana anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Ahmad Sofyan. Menurut dia, AGH yang telah ditetapkan sebagai pelaku dalam kasus penganiayaan itu tidak seharusnya dilakukan penahanan.

"Untuk penahanan, untuk anak dihindari, bahkan sebaiknya tidak dilakukan," kata Sofyan.

Lebih lanjut, Sofyan mengatakan, penahanan terhadap anak berkonflik dengan hukum atau menjadi pelaku tindak kejahatan tidak bisa sembarangan dilakukan. Namun jika tetap ingin dilakukan terhadap pelaku anak, pihak kepolisian harus memilik alasan objektif. 

Menurut dia, setidaknya harus harus ada tiga alasan objektif untuk menahan AGH. Yaitu melarikan diri, diduga melakukan tindak pidana lagi, dan terakhir merusak barang bukti.

"Jadi Undang-undang Perlindungan Anak secara yuridis menghindari penahanan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum," kata Sofyan menjelaskan.

Karena itu, Sofyan menegaskan bahwa penanganan terhadap anak dalam proses hukum tidak bisa disamakan dengan orang dewasa yang ditetapkan sebagai tersangka. Kemudian jika tetap nekat melakukan penahanan terhadap tanpa alasan objektif tersebut, penyidik bisa melanggar Undang-undang Perlindungan Anak.

"Orang dewasa kalau ancaman lima tahun ke atas bisa ditahan. Kalau anak, ini ancamannya 12 tahun pun tidak wajib. Bahkan, kesalahan jika penyidik bisa melakukan penahanan jika tidak ada alasan objektif yang terpenuhi pada diri anak," kata Sofyan menegaskan.

Pihak sekolah AGH, yakni SMA Tarakanita I, dalam surat yang beredar menyatakan telah menerima surat pengunduran diri yang bersangkutan.

"Kami telah menerima surat pengunduran diri AGH sebagai siswi SMA Tarakanita I Jakarta secara resmi pada tanggal 28 Februari 2023," bunyi poin pertama surat yang ditandatangani oleh Kepala SMA Tarakanita I, Pauletta, itu, dikutip Jumat (3/3/2023).

Surat bernomor 155/30059/PND.10.8/III/2023 itu diterbitkan pada Rabu (2/3/2023) dan ditujukan kepada orang tua atau wali siswa kelas X, XI, dan XII SMA Tarakanita I. Pada poin kedua dalam surat tersebut dituliskan, pihak sekolah telah mengembalikan pendidikan AGH kepada orang tua dan keluarga.

"Dengan tetap memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya Undang-Undang Perlindungan Anak," bunyi poin tersebut.

Pada poin berikutnya, pihak sekolah menyampaikan, anak merupakan anugerah dan titipan yang maha kuasa. Peristiwa yang mana AGH terlibat di dalamnya disebut memberikan pengalaman berharga sebagai pendidik dan orang tua.

"Selanjutnya mari bahu-membahu, bekerja sama dalam kasih-Nya untuk memastikan proses pembelajaran peserta didik dapat berjalan dengan baik, aman, dan nyaman," bunyi kalimat terakhir poin ketiga itu.

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan, kasus yang menjerat Mario Dandy tidak cuma tepat diterapkan hukuman maksimal kejahatan penganiayaan. Terlebih, dengan perlakuan sadis sedemikian rupa berdasarkan video yang beredar.

"Tidak hanya hukuman maksimal kejahatan penganiayaan, tapi juga sudah memenuhi unsur percobaan pembunuhan (Pasal 340 jo Pasal 53 KUHP)," kata Fickar kepada Republika, Kamis (2/3/2023).

Oleh karena itu, ia berpendapat, kasus penganiayaan kepada anak petinggi GP Ansor itu sangat berdasar untuk dituntut maksimal. Terutama, Fickar menekankan, dengan cara pelaku-pelaku yang mendatangi ke suatu tempat di mana korban berada.

"Bisa ditarik kesimpulan bahwa tindakan itu direncanakan," ujar Fickar.

Sebelumnya, Menko Polhukam, Mahfud MD, mengaku lebih mendukung agar kepolisian mencoba menerapkan pasal-pasal yang lebih tegas. Tujuannya, untuk membuat anak muda dan membuat orang tua mendidik anak-anak diterapkan Pasal 354 dan 355.

Pasal 354 KUHP sendiri mengatur penganiayaan yang dilakukan sengaja untuk melukai orang lain secara berat. Pasal ini memiliki ancaman hukuman penjara delapan tahun. Jika mengakibatkan kematian, ancamannya menjadi sembilan tahun penjara.

"Untuk membuat anak-anak muda, untuk membuat orang tua mendidik anak-anaknya dengan baik, diterapkan Pasal 354 dan 355," kata Mahfud. 

 

Barang dan jasa yang tidak terkena pajak pertambahan nilai (PPN) 11 persen. - (Tim Infografis Republika.co.id)

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler