Koalisi Sipil Minta Bawaslu Gugat Peraturan KPU yang Bisa Kurangi Caleg Perempuan 

Somasi dan tuntutan dilayangkan untuk memulihkan hak politik perempuan sebagai caleg.

Republika TV/Havid Al Vizki
Titi Anggraini, dari Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan.
Rep: Febryan A Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan, sebuah koalisi yang terdiri atas puluhan organisasi masyarakat sipil, meminta Bawaslu RI menggugat peraturan KPU RI yang dapat mengurangi jumlah bakal calon anggota legislatif (caleg) perempuan pada Pemilu 2024. Mereka meminta gugatan dilayangkan apabila KPU RI tak kunjung mau merevisi aturan tersebut. 

Baca Juga


Desakan itu termuat dalam surat somasi yang diserahkan koalisi sipil ke Sekretariat Jenderal Bawaslu RI pada Jumat (19/5/2023). Dalam suratnya, koalisi sipil menuntut Bawaslu RI menerbitkan rekomendasi yang isinya meminta KPU RI merevisi Pasal 8 dalam PKPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. 

Bawaslu RI juga diminta memberikan tenggat waktu 2 x 24 jam kepada KPU RI melakukan revisi sejak rekomendasi diterima. "Jika KPU tidak menindaklanjuti rekomendasi tersebut, Masyarakat Keterwakilan Perempuan menuntut Bawaslu segera menggunakan kewenangan mengajukan uji materi kepada Mahkamah Agung," kata perwakilan koalisi, Titi Anggraini, Senin (22/5/2023). 

Titi menjelaskan, somasi dan tuntutan tersebut dilayangkan untuk memulihkan hak politik perempuan sebagai bakal caleg DPR RI maupun DPRD. Sebab, Pasal 8 ayat 2 dalam PKPU 10/2023 terkait cara penghitungan kuota caleg perempuan minimal 30 persen itu dapat mengurangi jumlah caleg wanita secara signifikan. 

Pasal itu menyatakan bahwa apabila penghitung kuota 30 persen menghasilkan dua angka di belakang koma tak mencapai 50, maka dilakukan pembulatan ke bawah. Problemnya, pendekatan pembulatan ke bawah itu ternyata dapat membuat jumlah bakal caleg perempuan tidak sampai 30 persen per partai di setiap daerah pemilihan (dapil) sebagaimana diamanatkan UU Pemilu. 

Sebagai contoh, di sebuah dapil terdapat empat kursi anggota dewan dan partai politik hendak mengajukan bakal caleg dengan jumlah maksimal, yakni empat orang. Dengan penghitungan murni 30 persen, berarti partai politik harus mengajukan 1,2 orang bakal caleg perempuan. 

Lantaran ada ketentuan pembulatan ke bawah, partai akhirnya hanya wajib mendaftarkan satu caleg perempuan. Padahal, satu caleg perempuan dari empat caleg persentasenya adalah 25 persen, bukan 30 persen. 

Berdasarkan simulasi yang dibuat Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan, pendekatan pembulatan ke bawah itu dapat mengurangi jumlah bakal caleg DPR RI perempuan hingga 684 orang. Sedangkan pada level DPRD provinsi dan kabupaten/kota dapat mengurangi jumlah bakal caleg wanita hingga ribuan orang di seluruh Indonesia. 

KPU pada 10 Mei 2023 sebenarnya sudah menyatakan bersedia merevisi pasal tersebut. Namun, hingga kini KPU tak kunjung melakukannya. KPU pada 19 Mei 2023 justru menyatakan "belum" akan melakukan revisi. 

Perubahan sikap itu terjadi usai Komisi II DPR RI melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang diikuti KPU, Bawaslu, DKPP dan Kemendagri pada 17 Mei 2023 meminta KPU tak melakukan revisi. KPU, kata Titi, tunduk pada kehendak anggota dewan. Padahal, putusan Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa hasil konsultasi dengan DPR tidak bersifat mengikat. 

Di sisi lain, KPU sudah melaksanakan tahapan pendaftaran bakal caleg pada 1-14 Mei 2023. Semua partai mengeklaim sudah memenuhi ketentuan 30 persen bakal caleg perempuan untuk DPR RI. KPU mengamini klaim tersebut. Namun, KPU tidak membuka datanya sehingga kebenaran klaim tersebut tidak bisa diverifikasi.

 

Tiga Parpol Berpeluang Menang di Pemilu 2024 - (infografis Republika)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler