Anak-Anak Gaza Terus Alami Mimpi Buruk Pascaserangan Israel
Warga Palestina telah mengalami beberapa kali pertempuran dengan Israel sejak 2008.
REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Setiap kali pintu dibanting, Bissan al-Mansi yang berusia 10 tahun salah mengartikannya sebagai bom yang dijatuhkan. Lebih dari sepekan telah berlalu sejak putaran terakhir pertempuran dengan Israel di Gaza, tetapi al-Mansi mengakui masih mengalami mimpi buruk.
"Mimpi saya telah berubah, sebelumnya lebih baik. Saya sangat takut. Saya tidak bisa tidur lagi di malam hari," kata al-Mansi yang menemui psikiater sejak pertempuran terakhir berakhir pada pertengahan Mei.
Rumah gadis itu di Deir al-Balah di Gaza tengah termasuk di antara beberapa rumah yang telah rusak atau hancur. Israel membom lingkungan tersebut setelah memberikan waktu sekitar 30 menit kepada warga untuk mengungsi.
Salah satu dari lima bersaudara ini mengatakan, sekarang dia terlalu takut untuk keluar rumah, meski untuk bermain dengan teman-temannya. Sebelum pertempuran, dia bangun pagi dengan semangat untuk pergi ke sekolah, mata pelajaran favoritnya adalah bahasa Arab dan sejarah, tetapi sejak pertempuran berakhir dia belum kembali.
"Jika seseorang membanting pintu, saya membayangkan itu adalah serangan udara," kata anak perempuan itu.
Psikiater lokal mengatakan, gejala al-Mansi umum di antara banyak anak yang tinggal di daerah kantong. Mereka mengalami kondisi kurang tidur, gelisah, mengompol, serta kecenderungan untuk tetap menempel pada orang tuanya dan menghindari keluar rumah.
Warga Palestina telah mengalami beberapa kali pertempuran dengan Israel sejak 2008. Serangan yang terus berulang membuat penyembuhan hampir tidak mungkin karena penyebabnya tetap tidak berubah.
Para pakar menemukan jumlah anak-anak yang membutuhkan bantuan kesehatan mental hampir seperempat dari 2,3 juta penduduk Gaza yang hidup di bawah blokade yang diberlakukan oleh Israel dan Mesir. Studi sebelumnya di Israel juga menemukan, bahwa anak-anak Israel yang terus-menerus terpapar tembakan roket di daerah dekat Gaza juga mengalami tingkat stres, agresi, dan kecemasan yang tinggi.
Tidak ada tempat perlindungan bom yang aman di Gaza, dengan lebih dari 50 persen warga Palestina hidup dalam kemiskinan dan tidak memiliki tempat berlindung selain di rumahnya. Pejabat Palestina dan organisasi kemanusiaan internasional telah memperingatkan bahwa sistem perawatan kesehatan berada di ambang kehancuran. Akses ke layanan kesehatan terbatas, pergerakan sangat dibatasi, dan luka psikologis semakin dalam.
Menurut pejabat Hamas, putaran terakhir serangan udara Israel yang dimulai pada 9 Mei telah menghancurkan 100 unit rumah dan merusak 2.000 bangunan. Koordinator Khusus PBB untuk Proses Timur Tengah Tor Wennesland mengutuk serangan udara Israel yang menewaskan warga sipil. Sementara Israel membantah menargetkan warga sipil. Wennesland juga mengutuk penembakan roket yang sembarangan ke Israel.
Aktivis sosial, petugas medis Bulan Sabit Merah Palestina, dan psikiater mengunjungi daerah yang terkena dampak. Mereka bertemu dengan anak-anak dan keluarganya untuk memberikan panduan pemulihan.
"Saya datang ke sini untuk mengalihkan diri dari tekanan," kata Joudy Harb berusia 11 tahun saat relawan dengan kostum kartun melukis wajah anak-anak, bermain, dan menari.
"Mereka mengatakan ingin mengebom dua rumah dan sebaliknya, mereka mengebom seluruh alun-alun," ujar anak kecil itu.
Menurut pejabat dari Dana Anak-anak PBB (UNICEF), setengah dari anak muda di Gaza atau sekitar 500 ribu anak mungkin membutuhkan dukungan psikologis setelah 11 hari pertempuran antara Hamas dan Israel pada 2021. Pejabat PBB dan pakar kesehatan mental Palestina mengatakan, demi kesejahteraan semua anak dan masa depannya, diperlukan solusi damai jangka panjang untuk pendudukan militer Israel, solusi yang mencegah terulangnya perang dan upaya berkelanjutan.
Menyusul putaran pertempuran lainnya, keluarga Palestina mengatakan gejala traumatis yang dialami anak-anak mereka semakin memburuk.
"Sayangnya, rasa takut tetap ada di hati mereka," kata Mazeyouna bibi al-Mansi.