MK Tolak Keterangan PDIP dalam Gugatan Sistem Pemilu

MK menilai, perbedaan pandangan di DPR mesti diselesaikan secara internal.

ANTARA/Muhammad Adimaja
Petugas keamanan berjalan di halaman Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). MK hari ini membacakan putusan uji materi UU Pemilu. (ilustrasi)
Rep: Rizky Suryarandika Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) mengambil sikap tegas menolak keterangan fraksi PDIP dalam sidang gugatan sistem pemilu. Keterangan tersebut memang dibacakan secara mendadak di sela penyampaian pandangan DPR RI saat sidang pemeriksaan beberapa waktu lalu.

Baca Juga


MK meyakini keterangan DPR mestinya disampaikan secara utuh. MK memandang fraksi PDIP tak bisa mengutarakan keterangan secara parsial. 

"Keterangan DPR sejatinya merupakan keterangan yang diberikan lembaga perwakilan rakyat sebagai satu kesatuan pandangan lembaga, bukan pandangan fraksi," kata hakim MK Guntur Hamzah saat sidang pembacaan putusan perkara nomor 114/PUU-XX/2022 menyangkut sistem Pemilu pada Kamis (15/6/2023).

MK menilai, perbedaan pandangan di DPR mesti diselesaikan secara internal. MK hanya mempertimbangkan keterangan DPR secara lembaga bukan per fraksi. 

"Perbedaan pandangan dari F-PDIP dalam keterangan DPR lebih merupakan persoalan internal lembaga DPR, sehingga yang akan Mahkamah pertimbangan adalah keterangan DPR secara kelembagaan," ujar Guntur.

Sebelumnya, keterangan dadakan dari fraksi PDIP disampaikan pada 26 Januari 2023. Saat itu, anggota Komisi III dari fraksi PDIP Arteria Dahlan meminta majelis hakim MK mengabulkan upaya uji materil UU Pemilu dalam perkara nomor 114/PUU-XX/2022 yang tujuannya menggugat sistem pemilihan legislatif proporsional terbuka.

Permintaan tersebut merupakan permintaan fraksi PDIP yang secara mengejutkan dibacakan Arteria di tengah pembacaan pandangan DPR oleh perwakilan Komisi III lainnya, Supriansa, terkait gugafan ini dalam sidang pleno di MK.

Supriansa tiba-tiba mengizinkan Arteria membacakan pandangan PDIP di muka sidang lantaran PDIP merupakan satu-satunya partai politik di DPR yang menolak sistem proporsional terbuka.

"Fraksi PDI-P memohon agar kiranya Yang Mulia ketua dan majelis hakim konstitusi dapat memutus sebagai berikut, hanya satu permintaan PDI-P yaitu menerima keterangan fraksi PDI-P secara keseluruhan," kata Arteria dalam sidang itu. 

Permintaan Arteria bertentangan dengan permintaan DPR RI lewat Komisi III yang meminta MK menolak permohonan uji materi ini.

 

Juru Bicara MK Fajar Laksono menyampaikan putusan pada hari dihadiri oleh delapan orang hakim MK. Sebab terdapat satu orang hakim MK yang tengah menjalankan tugas ke luar negeri yaitu Wahiduddin Adams. Hanya saja Fajar tak menjelaskan kegiatan apa yang dilakukan Wahiduddin di luar negeri saat sidang pengucapan putusan. 

"Hakim Wahiduddin sedang ada tugas MK ke luar negeri, berangkat tadi malam," kata Fajar kepada wartawan, Kamis (15/6/2023). 

Fajar menjelaskan sidang pengucapan putusan tetap bisa dilakukan meski minus satu orang hakim MK. Menurutnya, hal tersebut sudah diatur dalam aturan MK.

"Sidang pleno dihadiri oleh sembilan hakim, dalam kondisi luar biasa dapat dihadiri tujuh hakim," ucap Fajar. 

Fajar menyebut sidang pengucapan putusan baru batal dilakukan kalau hakim MK yang hadir kurang dari tujuh orang. Sehingga ketidakhadiran Wahiduddin tak mengganggu jalannya sidang pengucapan putusan pada hari ini. 

"Kurang dari tujuh hakim, sidang pleno tidak dapat dilaksanakan," ujar Fajar.

Diketahui, Wahiduddin merupakan hakim MK yang sempat mengeyam karier di pemerintahan dengan jabatan tertinggi Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan pada 2010-2014. Wahiduddin juga dikenal ketika menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam putusan uji materi Undang-Undang KPK hasil revisi pada 2021. 

Ketika semua hakim menolak gugatan mengenai proses revisi UU itu, Wahiduddin menyatakan proses revisi UU Nomor 19 Tahun 2019 itu dilakukan dalam waktu singkat dan secara nyata telah mengubah postur, struktur, arsitektur, dan fungsi KPK secara fundamental. Diketahui uji materi UU KPK hasil revisi diajukan oleh mantan ketua KPK, Agus Rahardjo dan kawan-kawan.

"Perubahan ini sangat nampak sengaja dilakukan dalam jangka waktu yang relatif sangat singkat serta dilakukan pada momentum yang spesifik," kata Wahiduddin membacakan pandangannya, Selasa, (4/5/2021).

Atas alasan itu, Wahiduddin menilai partisipasi publik yang rendah bahkan mengarah pada nihilnya jaminan konstitusionalitas pembentukan UU a quo. Sehingga, pengujian formil adalah pengujian terhadap proses pembentukan UU atau perppu yang tidak memenuhi ketentuan dalam UUD 1945.

"Saya meyakini pendapat beberapa indikator spesifik yang menyebabkan UU KPK memiliki persoalan konstitusionalitas dan moralitas yang serius," ucap dia. 

 

Data Caleg Artis dari Pemilu ke Pemilu - (Infografis Republika)

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler