Ini Alasan MK Tolak Kabulkan Gugatan Sistem Pemilu Tertutup
Hakim MK menjelaskan, konstitusi Indonesia tidak mengatur jenis sistem pemilu.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) mengakui, konstitusi Indonesia tak pernah mengatur jenis sistem yang dipakai dalam pelaksanaan pemilu. MK menyadari pilihan sistem pemilu menjadi wewenang pembentuk undang-undang (UU), yaitu DPR dan pemerintah.
Sikap tersebut diambil MK dengan merujuk sejarah penyelenggaraan pemilu di Tanah Air. Hakim MK Suhartoyo ketika membacakan pertimbangan MK atas putusan uji materi perkara Nomor 114/PUU-XIX/2022, bahkan, mempertimbangkan pandangan para founding father dalam perkara gugatan sistem pemilu tertutup yang diajukan kader PDIP.
"Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama ketentuan-ketentuan dalam konstitusi yang mengatur ihwal pemilihan umum, khusus berkenaan dengan pemilihan umum anggota legislatif, in casu pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 tidak menentukan jenis sistem pemilihan umum yang digunakan untuk anggota legislatif," kata Suhartoyo di gedung MK pada Kamis (15/6/2023).
Baca: MK Tolak Gugatan Sistem Pemilu yang Diajukan Kader PDIP
Suhartoyo menyatakan UUD 1945 hasil perubahan sebenarnya tak menentukan sistem pemilihan umum bagi legislatif. "UUD 1945 hasil perubahan pun tidak menentukan sistem pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD. Dalam hal ini, misalnya, Pasal 19 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum," ujarnya.
Sidang perdana perkara dengan nomor 114/PUU-XX/2022 itu digelar pada Rabu (23/11/2022) dan sidang terakhir pada Selasa (23/5/2023). Tercatat, MK menggelar 16 kali sidang sejak pemeriksaan pendahuluan sampai ke tahap akhir. Adapun MK memutuskan menolak gugatan tersebut.
Sepanjang sidang itu, MK menghadirkan berbagai pihak guna memberi keterangan, yaitu DPR, presiden, pihak terkait yang terdiri atas KPU, Fatturrahman dkk, Sarlotha Febiola dkk, Asnawi dkk, DPP Partai Garuda, Hermawi Taslim, Wibi Andrino, DPP PKS, DPP PSI, Anthony Winza Prabowo, August Hamonangan, Wiliam Aditya Sarana, hingga Muhammad Sholeh.
Baca: Usulan Perdamaian Rusia-Ukraina Versi Prabowo, Jokowi: Bagus-Bagus Saja
Diundang pula pengurus DPP PBB, Derek Loupatty, Perludem, Jansen Sitindaon, serta MK menyimak keterangan para ahli yang diajukan pemohon, Perludem, Derek Loupatty, Partai Garuda, dan Partai Nasdem.
Gugatan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diajukan oleh pengurus PDIP Demas Brian Wicaksono beserta lima koleganya. Mereka keberatan dengan pemilihan anggota legislatif dengan sistem proporsional terbuka pada Pasal 168 Ayat 2 UU Pemilu.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan eks wamenkumham Denny Indrayana sempat menyatakan ada kemungkinan pelaksanaan Pemilu 2024 tertunda apabila MK memutuskan penggunaan sistem proporsional tertutup alias sistem coblos partai. Gugatan itu mendapat sorotan publik karena Denny membocorkan putusannya akan berupa proporsional tertutup.
Padahal, tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan dengan menggunakan sistem proporsional terbuka. Lewat putusan tersebut, MK sekaligus membantah bocoran putusan yang pernah dilontarkan Denny Indrayana tersebut.