Korut: Senjata Nuklir Diperlukan untuk Pertahankan Diri
Korut menuduh AS dan Korsel mendorong semenanjung Korea ke jurang perang nuklir.
REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Utusan Korea Utara (Korut) untuk PBB Kim Song menuduh Amerika Serikat (AS) dan Korea Selatan (Korsel) mendorong semenanjung Korea lebih dekat ke jurang perang nuklir. Dia mengatakan kepada Majelis Umum PBB pada Selasa (26/9/2023), bahwa sebagai akibatnya negaranya tidak punya pilihan selain mempercepat pembangunan kemampuan nuklir untuk pertahanan dirinya.
“Tahun 2023 tercatat sebagai tahun yang sangat berbahaya. Semenanjung Korea berada dalam situasi yang sangat berbahaya dengan bahaya pecahnya perang nuklir," kata Duta Besar Kim pada hari terakhir pertemuan tahunan para pemimpin dunia di PBB.
Korea Utara telah menguji puluhan rudal balistik dalam 18 bulan terakhir. AS telah lama memperingatkan bahwa Korut siap melakukan uji coba nuklir ketujuh.
“Mengingat keadaan yang ada, DPRK (Korut) sangat diperlukan untuk lebih mempercepat pembangunan kemampuan pertahanan diri untuk mempertahankan diri mereka sendiri,” kata Kim kepada Majelis Umum yang beranggotakan 193 perwakilan.
Pyongyang mengatakan, pihaknya menggunakan haknya untuk membela diri dengan melakukan uji coba rudal balistik. Tindak ini menjaga kedaulatan dan kepentingan keamanannya dari ancaman militer.
“DPRK tetap teguh dan tidak berubah dalam tekadnya untuk dengan tegas membela kedaulatan nasional, kepentingan keamanan, dan kesejahteraan rakyat dari ancaman musuh dari luar,” kata Kim.
Negara yang secara resmi memiliki nama Republik Rakyat Demokratik Korea (DPRK) ini telah berada di bawah sanksi Dewan Keamanan PBB karena program rudal dan nuklirnya sejak 2006. Langkah-langkah tersebut terus diperkuat selama bertahun-tahun.
Tapi, selama beberapa tahun terakhir Dewan Keamanan yang beranggotakan 15 negara berbeda pendapat mengenai cara menangani Pyongyang. Rusia dan Cina yang mempunyai hak veto bersama AS, Inggris, dan Perancis menyatakan, bahwa sanksi yang lebih besar tidak akan membantu. Kedua negara itu justru ingin tindakan seperti itu dilonggarkan.
Cina dan Rusia mengatakan, latihan militer gabungan yang dilakukan AS dan Korsel telah memprovokasi Korut. Sementara Washington menuduh Beijing dan Moskow menguatkan Pyongyang dengan melindungi negara tersebut dari sanksi lebih lanjut.