Sebut Putin Berbohong, Zelenskyy Bantah Info 300 Ribu Tentara Ukraina Tewas
Zelenskyy mengonfirmasi 31 ribu tentara Ukraina tewas dalam perang dengan Rusia.
REPUBLIKA.CO.ID, KIEV -- Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy membantah pernyataan yang menyebut 300 ribu tentaranya telah tewas dalam pertempuran selama dua tahun terakhir melawan Rusia. Namun, dia mengakui bahwa 31 ribu tentara Ukraina telah terbunuh sejak perang dengan Moskow pecah pada Februari 2022.
"Tiga puluh satu ribu tentara Ukraina tewas dalam perang ini. Bukan 300 ribu, bukan 150 ribu. (Presiden Rusia Vladimir) Putin berbohong soal angka (kematian tentara Ukraina ini). Kendati demikian, ini adalah kerugian besar bagi kami," kata Zelenskyy dalam sebuah konferensi pers di Kiev, Ahad (25/2/2024).
Selama lebih dari satu tahun, Ukraina tidak membuka informasi tentang berapa banyak tentaranya yang telah tewas dalam pertempuran melawan pasukan Rusia. Data terkait hal itu terakhir kali dipublikasikan pada penghujung tahun 2022.
Rusia juga tidak mempublikasikan kerugian militernya, termasuk jumlah tentaranya yang terbunuh selama bertempur dengan Ukraina. Saat menyampaikan pernyataan di Kiev pada Ahad, Zelenskyy kembali mengingatkan tentang pentingnya pengiriman bantuan dana dan militer bagi negaranya.
"Apakah Ukraina akan kalah, apakah ini akan sangat sulit bagi kami, dan apakah akan ada banyak korban jiwa, tergantung pada Anda, pada mitra kami, pada dunia Barat," ujarnya.
Zelenskyy pun sempat ditanya apakah dia bersedia menjalin pembicaraan dengan Putin. "Bisakah Anda berbicara dengan orang tuli? Bisakah kamu berbicara dengan orang yang membunuh lawannya?" kata Zelensky merespons pertanyaan tersebut.
Pernyataan Zelenskyy terkait pembunuhan lawan Putin tampaknya mengacu pada kematian Alexei Navalny. Navalny meninggal pada 16 Februari 2024 lalu ketika sedang menjalani hukumannya di sebuah koloni pemasyarakatan di timur Moskow.
Navalny dipandang sebagai "musuh" politik terkuat Vladimir Putin. Navalny ditangkap otoritas Rusia pada Januari 2021, sesaat setelah dia kembali dari Jerman.
Pada Agustus 2020, Navalny sempat diracun menggunakan agen saraf Novichok. Namun, setelah menjalani perawatan intensif dan melewati masa koma di sebuah rumah sakit di Berlin, nyawanya selamat.
Rusia dituding sebagai dalang di balik aksi percobaan pembunuhan terhadap Navalny. Pada Februari 2021, Navalny dijatuhi hukuman 2,5 tahun penjara karena melanggar ketentuan hukuman percobaan dari hukuman penggelapan tahun 2014.
Navalny menuding tuduhan terhadapnya terkait kasus tersebut bermotif politik. Penangkapan dan pemenjaraan Navalny memicu gelombang protes di Rusia.
Otoritas berwenang Rusia merespons aksi tersebut dengan penangkapan massal. Pada Agustus 2023, pengadilan Rusia menjatuhkan vonis penjara tambahan selama 19 tahun terhadap Navalny.