Celah Penyebab Terjadinya Pelanggaran Pemilu Menurut MK

Ke depan Pemerintah dan DPR perlu melakukan penyempurnaan terhadap UU Pemilu.

Republika/Prayogi
Suasana jalannya sidang putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024). Dalam sidang tersebut para pemohon hadir langsung yaitu Pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar dan Pasangan capres-cawapres nomor urut 03 Ganjar Pranowo dan Mahfud MD.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Eva Rianti, Febryan A 

Baca Juga


Mahkamah Konstitusi (MK) mengungkapkan tidak adanya aturan sebelum dan sesudah masa kampanye menciptakan terjadinya pelanggaran Pemilu. Hal itu disampaikan dalam sidang putusan sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres dari pemohon Tim Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN).  

"Bahwa Undang-Undang Pemilu belum memberikan pengaturan terkait dengan kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai kampanye yang dilakukan sebelum dan setelah masa kampanye dimulai," kata Ketua MK Suhartoyo dalam persidangan di Gedung MK, Senin (22/4/2024).  

Padahal, Suhartoyo melanjutkan pada Pasal 263 UU Pemilu telah disebutkan larangan bagi pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta ASN untuk mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye. 

"Namun, pasal-pasal berikutnya dalam UU Pemilu tersebut tidak memberikan pengaturan tentang kegiatan kampanye sebelum maupun setelah masa kampanye. Ketiadaan pengaturan tersebut memberikan celah bagi pelanggaran pemilu yang lepas dari jeratan hukum ataupun sanksi administrasi," jelasnya. 

Dengan demikian, Suhartoyo mengatakan, ke depan Pemerintah dan DPR perlu melakukan penyempurnaan terhadap UU Pemilu, juga UU Pemilukada maupun peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait dengan kampanye, baik berkaitan dengan pelanggaran administratif dan jika perlu pelanggaran pidana pemilu. Hal itu demi memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi pelaksanaam pemilu ke depan. 

"Demikian halnya, jika ada pengaturan yang saling berkelindan sehingga menimbulkan ambiguitas, hal tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan yang perlu dilakukan penyempurnaan oleh pembentuk undang-undang," tuturnya. 

Lebih lanjut, Suhartoyo mengatakan, khususnya bagi pejabat negara yang merangkap anggota parpol, capres/cawapres dan anggota tim kampanye maupun pelaksana kampanye yang sudah didaftarkan ke KPU, seharusnya perlu dibuat pengaturan yang lebih jelas guna menjaga netralitas aparat negara, sebagaimana dalam Pasal 299 UU Pemilu. Dia menyebut, pemerintah dan DPR harus membuatnya lebih jelas tentang pelaksanaan kampanye bagi rangkap tugas seperti itu yang seharusnya dilaksanakan terpisah, tidak dalam satu waktu kegiatan ataupun berhimpitan dengan waktu pelaksanaan tugas penyelenggaraan negara.  

"Kedua kegiatan tersebut tidak dapat dilakukan dalam waktu yang bersamaan maupun berhimpitan, karena berpotensi adanya terjadi pelanggaran pemilu dengan menggunakan fasitas negara dalam kegiatan kampanye maupun menggunakan atribut kampanye dalam tugas penyelenggaraan negara merjadi terbuka lebar," jelasnya. 

Lantas, Suhartoyo mencontohkan kasus Menteri Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan yang kerap disinggung pemohon. 

"Tergambarkan dalam kegiatan yang dilakukan oleh Menteri Perekonomian Airlangga Hartarto yang melakukan pembagian sembako dan juga setelah itu menghadiri kampanye Partai Golkar sebagai Ketua Umum dan kegiatan yang dilakukan Menteri Perdagangan dalam kegiatan APPSI (Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia) di Semarang," ungkapnya. 

Suhartoyo menambahkan, dalam menarik kesimpulan terkait dengan dugaan pelanggaran pemilu terhadap suatu peristiwa, Bawaslu perlu menyusun standar operasional dan prosedur, tata urut, maupun analisis yang baku dan memperhatikan berbagai aspek yang menjadi unsur adanya suatu pelanggaran pemilu baik yang dilakukan sebelum, selama, dan setelah masa kampanye. 

"Hal tersebut agar diperoleh hasil kesimpulan yang memiliki pijakan yang kuat dan komprehensif atas suatu peristiwa yang diduga terdapat pelangaran pemilu meskipun hasil kesimpulan tersebut dilakukan oleh anggota Bawaslu yang berbeda-beda. Oleh karena itu, terhadap dalil aquo pun Mahkamah tidak dapat menindaklanjuti dengan tanpa bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon dalam persidangan," ujarnya.

Karikatur Opini Republika : Nasehat Presiden - (Republika/Daan Yahya)

MK menekankan bahwa pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) bukanlah kewenangan dari MK. Hal itu disampaikan oleh hakim konstitusi Ridwan Mansyur saat membacakan putusan sengketa PHPU Pilpres dari pemohon Tim Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar 'AMIN'.

"Bahwa sejalan dengan pertimbangan hukum Mahkamah berkenaan dengan kewenangan Mahkamah untuk mengadili pelanggaran yang berkaitan dengan proses pemilu, khususnya dalam hal ini pelanggaran yang bersifat TSM, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa dengan berwenangnya Mahkamah untuk masuk pada nilai lebih dalam proses penyelenggaraan Pemilu tidak berarti lantas menegasikan segala proses penyelesaian sengketa yang dimiliki oleh lembaga-lembaga lain di luar mahkamah," kata Ridwan dalam ruang persidangan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (22/4/2024).

Ridwan menekankan, penyelesaian pelanggaran administrasi Pemilu yang terjadi secara TSM terhadap tata cara prosedur atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan Pemilu merupakan kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI. Tepatnya vide Pasal 461 ayat 1 juncto Pasal 463 ayat 1 UU Pemilu. 

"Dalam konteks ini Mahkamah bukan dalam posisi untuk memberikan penilaian terhadap proses penyelesaian yang telah dilakukan oleh Bawaslu, melainkan memastikan Bawaslu telah melaksanakan kewenangan dengan tepat sesuai dengan asas dan hukum pemilu yang berlaku," jelasnya.  

Ridwan melanjutkan, proses penyelesaian sengketa yang dilakukan Bawaslu menjadi sebuah database pengawasan, sekaligus sebagai rekam jejak perolehan suara masing-masing pasangan calon yang sewaktu-wakru dapat dibuka kembali untuk menjadi rujukan dalam persidangan PHPU di MK.

"Berdasarkan hal tersebut, meskipun Mahkamah tidak terkait pada hasil pelaksanaan kewenangan Bawaslu, akan tetapi momentum pelaporan atas pelanggaran administrasi dan proses Pemilu secara TSM kepada Bawaslu menjadi hal penting dalam penyelesaian sengketa hasil perolehan suara, sehingga dengan tidak adanya pelaporan pelanggaran Pemilu secara TSM kepada Bawaslu, maka dapat dikatakan dugaan pelanggaran tersebut dianggap tidak pernah ada, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya dalam persidangan," tegasnya. 

Secara konkret, Ridwan menegaskan, posisi MK terhadap proses pelaksanaan kewenangan Bawaslu dalam perselisihan tentang hasil pemilihan umum adalah memastikan lembaga pengawas pemilu telah secara seksama melakukan pengawasan dan penilaian dengan memberikan keputusan atau rekomendasi seusai dengan asas dan hukum pemilu yang berlaku.

Jadwal Pilkada Serentak 2024 - (Infografis Republika)

Terhadap gugatan Anies-Muhaimin, MK menolak secara keseluruhan. "Dalam pokok permohonan: Menolak permohonan Pemohon (Anies-Muhaimin) untuk seluruhnya" kata Ketua Majelis Hakim sekaligus Ketua MK, Suhartoyo membacakan amar putusan di ruang sidang MK, Jakarta Pusat, Senin (22/9/2024).

Dalam konklusinya, majelis hakim menyatakan eksepsi Anies-Muhaimin berkenaan dengan pokok permohonan adalah tidak beralasan menurut hukum. Majelis juga menyatakan permohonan Anies-Muhaimin tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

Keputusan ini diambil oleh delapan hakim konstitusi. Hakim Konstitusi Anwar Usman yang merupakan paman dari cawapres Gibran Rakabuming Raka tidak ikut menangani perkara ini.

Gugatan atau permohonan Anies-Muhaimin teregistrasi dengan Nomor Perkara 1/PHPU.PRES-XXII/2024. Pasangan ini meminta MK membatalkan Keputusan KPU Nomor 360 yang menyatakan Prabowo-Gibran meraih 96.214.691 suara (terbanyak).

Anies-Muhaimin juga meminta MK mendiskualifikasi Prabowo-Gibran sebagai peserta Pilpres 2024. Selain itu, mereka meminta MK memerintahkan KPU menggelar pemungutan suara ulang Pilpres 2024 tanpa melibatkan Prabowo-Gibran.

Petitum itu diajukan karena mereka yakin bahwa pencalonan Gibran tidak sah. Mereka juga mendalilkan bahwa pelaksanaan Presiden Jokowi melakukan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) seperti penyalahgunaan bansos demi memenangkan Prabowo-Gibran.



Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler