Lawan Perubahan Iklim dari Piring, Cara Sederhana Ini Bantu Selamatkan Bumi
Perubahan iklim tidak bisa dicegah tapi dapat diperlambat.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menurut Food and Agriculture Organisation (FAO), sepertiga gas rumah kaca global berasal dari sistem pangan dunia, dihitung mulai dari produksi, pengemasan, distribusi, hingga limbah. Agar bumi tidak semakin panas, seluruh penduduk dunia perlu ikut bertanggung jawab untuk menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca, yang menjadi penyebab terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. Apa yang kini bisa kita lakukan?
CEO dan Co-Founder Food Sustainesia Jaqualine Wijaya mengatakan, perubahan iklim sudah tidak bisa dicegah karena sekarang sudah terjadi namun masih bisa sama-sama memperlambat laju perubahan iklim tersebut. "Langkah yang bisa dilakukan adalah mengadopsi pola makan berkelanjutan, termasuk memilih bahan pangan yang juga berkelanjutan. Pola makan berkelanjutan perlu dipandang secara holistik, tidak bisa dilihat dari satu aspek saja, melainkan dari banyak aspek, termasuk lingkungan, kesehatan, sosial, dan ekonomi,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Jumat (7/6/2024).
Founder Males Nyampah, Gema, berpendapat, proses produksi pangan sebaiknya tidak membebani generasi sekarang dan generasi yang akan datang, baik secara sosial, ekonomi, dan lingkungan. “Kita perlu memikirkan asal atau sumber bahan pangannya, kandungan gizinya, baru kemudian memikirkan limbah dari bahan pangan tersebut,” kata dia.
Food waste atau sampah makanan menjadi salah satu concern utama Males Nyampah. Karena itu, Males Nyampah kerap mengunggah konten tentang mengurangi sampah makanan, termasuk cara menyimpan makanan agar lebih awet, pentingnya membeli bahan makanan lokal dan musiman, ajakan membeli roti diskonan, juga ajakan untuk berhenti membuang sampah makanan ke tempat pembuangan akhir (TPA) karena bisa mempercepat perubahan iklim.
Seperti apa bahan makanan yang masuk dalam kriteria berkelanjutan?
1. Mudah didapat dan harga terjangkau
Makanan yang diproduksi oleh petani lokal merupakan bahan pangan yang ramah lingkungan. Karena, bahan makanan lokal tidak harus melalui proses perjalanan yang panjang, sebelum kemudian sampai di tangan konsumen. Berbeda dari pangan impor yang harus melalui jalur distribusi panjang, menggunakan banyak kemasan untuk memastikan keamanannya, dan membutuhkan waktu penyimpanan cukup lama yang berpotensi sebenarnya bisa menurunkan nilai gizi.
“Keuntungan dari berbelanja produk pangan lokal adalah meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan, karena aksi ini dapat mengurangi jejak karbon, sekaligus mendukung produsen lokal, baik petani maupun nelayan. Keuntungan lainnya adalah produk lokal biasanya berlimpah, mudah sekali didapatkan di sekitar kita, dan harganya sangat terjangkau,” kata Jaqualine.
Salah satu kelompok bahan makanan yang mudah didapat adalah buah-buahan yang sedang musim. “Pada saat musim panen tersebut biasanya terjadi kelebihan produksi. Misalnya, ketika sedang musim mangga, berbagai jenis mangga mudah ditemukan di mana-mana dengan harga murah. Makin banyak orang membeli mangga yang sedang musim, potensi mangga tersebut menjadi busuk dan kemudian terbuang menjadi lebih kecil. Selain itu, belanja buah yang sedang musim berarti juga membantu petani lokal,” kata Jaqualine.
Gema mengatakan bahan makanan musiman relatif bertanggung jawab, berkelanjutan dari waktu ke waktu, dan terbukti memberi dampak positif terhadap masyarakat. "Selain itu, kita bisa ikut mendukung produk lokal di daerah masing-masing. Misalnya, tak harus memasak nasi dari beras, masyarakat Nusa Tenggara Timur bisa mengonsumsi nasi sorgum, sekaligus menjaga keanekaragaman hayati," jelasnya.
2. Praktik di baliknya berdampak minimal terhadap lingkungan
Praktik penanaman bahan pangan, misalnya padi, yang konvensional masih menggunakan pupuk dari bahan kimia dan pestisida, yang berpotensi merusak tanah. Bahan kimia tersebut menyumbang jejak karbon. Di samping itu, lahan pertanian padinya masih ada yang didapatkan dari pembukaan lahan dengan pembakaran hutan. Padahal, nasi dari beras masih menjadi sumber karbohidrat yang paling banyak dikonsumsi.
Jaqualine mengatakan, ada pilihan beras yang ramah lingkungan yakni beras organik yang tidak menggunakan bahan kimia dalam penanamannya dan tidak menggunakan air yang tercemar. Untuk memastikan suatu bahan makanan memang diproduksi secara organik, carilah kemasan yang melekatkan label organik atau sustainable food.
"Itu berarti bahan pangan tersebut sudah mendapatkan sertifikasi organik. Atau, kalau membeli protein hewani dari daging sapi, carilah yang berlabel grass-fed dan telur berlabel cage-free,” kata Jaqualine, yang bersama Food Sustainesia meluncurkan kampanye IJoinAja.
3. Berlimpah nutrisi
Dari segi kesehatan, bahan makanan berkelanjutan adalah yang sarat muatan nutrisi. Menurut Jaqualine, langkah awal yang bisa dilakukan untuk mempraktikkan pola makan berkelanjutan adalah memilih dan mengonsumsi makanan bergizi, bukan melihat dari proses produksi dan distribusi yang dinilai ramah lingkungan.
“Mengonsumsi makanan bergizi merupakan aspek penting dalam pola makan berkelanjutan,” katanya.
Jaqualine menyebutkan, terdapat banyak cara untuk mendapatkan asupan makanan yang bergizi tinggi. Ia mencontohkan, Kementerian Kesehatan merilis panduan makan Isi Piringku. Panduan ini menganjurkan agar dalam satu piring terdapat 50 persen buah dan sayur, 50 persen karbohidrat, dan protein.
“Untuk memenuhi anjuran porsi buah dan sayur, kita bisa menggunakan bahan makanan lokal yang berbeda jenis, sehingga mendapatkan nutrisi optimal dari berbagai sumber pangan. Jadi, sebaiknya tidak memilih makanan yang itu-itu saja," ujarnya.
4. Berbahan dasar tanaman
Sejak beberapa tahun belakangan ini, para pencinta lingkungan ramai-ramai mendorong masyarakat untuk mengonsumsi bahan makanan berbahan dasar tanaman (plant-based food). Sehingga, kemudian orang mulai mempraktikkan urban farming, memanfaatkan lahan sempit di rumah untuk menanam sayuran. Tapi, kenapa para pegiat lingkungan menyarankan kita untuk mengurangi konsumsi daging?
Meningkatnya permintaan produk berbahan dasar hewani akan berujung pada terlalu banyaknya lahan yang digunakan untuk produksi. “Jejak karbon dari produksi bahan pangan hewani bisa mencapai 50 kali produksi bahan pangan nabati,” kata Jaqualine menjelaskan.
Food Sustainesia mengumpulkan sejumlah data terkait konsumsi produk hewani, seperti daging dan ikan. Antara lain, saat ini terjadi penurunan stok ikan laut yang berkelanjutan. Selain itu, eksploitasi yang berlebihan terhadap satwa liar, termasuk ikan, mengancam keanekaragaman hayati.
Dalam salah satu unggahannya, Gema mengajak kita untuk lebih banyak mengonsumsi tempe daripada daging sapi. Di unggahan tersebut dijelaskan bahwa nilai protein dalam tempe setara dengan daging sapi, tapi kalori dan lemaknya lebih rendah. Ditambah lagi, tempe jauh lebih murah dan proses pembuatannya sangat hemat energi.
“Kita sebaiknya bisa segera beralih dari bahan pangan konvensional menuju bahan pangan berkelanjutan, karena akan membantu kita menuju era baru yang lebih bertanggung jawab untuk mencapai kesejahteraan bersama,” kata Gema.