Proklamasi RI, Ketegasan Sukarno, dan Kedisiplinan Bung Hatta
Inilah suasana Proklamasi RI pada 79 tahun silam.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah menandatangani teks Proklamasi Republik Indonesia di kediaman Laksamana Maeda pada 17 Agustus 1945 pukul 04.00 pagi, Ir Sukarno kembali ke kediamannya di Jalan Pegangsaan Timur 56. Kemudian, cepat-cepat Bung Karno menyantap hidangan sahur.
Ia sudah dua hari tidak tidur karena sehari sebelumnya sehabis sahur orator ulung itu dan istrinya, Ibu Fatmawati, beserta Guntur yang masih bayi, diculik para pemuda. Anak-anak muda revolusioner ini juga menculik Mohammad Hatta. Para tokoh bangsa dibawa ke Rengasdenglok, dekat Karawang.
Mereka diangkut dengan sebuah mobil Fiat buatan Italia yang kala itu mendominasi angkutan di Jakarta. Mobil produksi Jepang belum ada satu pun yang nongol di sini. Saat mendekati tujuan, mereka berganti kendaraan dengan truk.
Setelah Subuh tanggal 17 Agustus 1945, sudah tersiar kabar bahwa Bung Karno akan mengumumkan kemerdekaan. Rupanya, para pemuda yang hadir di rumah Laksamana Maeda banyak yang tidak tidur semalaman. Mereka menyebarkan selebaran keliling kota mengenai kemerdekaan yang akan diproklamasikan tokoh tersebut.
Tidak heran kala hari gelap, kediaman Bung Karno sudah banyak didatangi berbagai lapisan masyarakat, seperti petani, pedagang kelontong, nelayan, pegawai negeri, tua, dan muda. Mereka datang berbondong-bondong membawa bambu runcing, batu, sekop, tongkat, parang, golok, atau apa saja yang dapat mereka bawa. Itu menunjukkan tekad berani mati demi mempertahankan kemerdekaan.
"Jam 07.00 sekitar 100 orang atau lebih berkumpul di muka jendelaku," tutur Bung Karno dalam biografinya yang ditulis pengarang wanita AS, Cindy Adams. "Pada pukul 09.00 kira-kira 500 orang berdiri di depan beranda rumahku. Fatmawati yang duduk di atas tempat tidurku selagi aku terbaring (Bung Karno kala itu tengah sakit deman-red), membangunkanku. Mukaku pucat dan gemeter. Aku hanya tertidur beberapa menit,'' tuturnya.
Meskipun telah disepakati proklamasi dibacakan pukul 10.00 pagi, rupanya rakyat tidak sabar.
"Sekarang, Bung. Sekarang! Nyatakanlah sekarang! Nyatakanlah sekarang!" teriak mereka.
Kemudian, orang-orang mengingatkan bahwa matahari sudah mulai meninggi dan panas. Ketidaksabaran rakyat ini karena ketika itu tentara Jepang masih berkuasa dengan persenjataan amat lengkap.
Mereka khawatir, balatentara Dai Nippon akan menghalang-halangi proklamasi kemerdekaan RI.
Ketika menghadapi desakan massa rakyat, Bung Karno yang masih dalam keadaan deman menyatakan: '"atta tidak ada. Saya tidak mau mengucapkan proklamasi kalau Hatta tidak ada."
Menurut Bung Karno, sekalipun kala itu dia dapat memproklamirkan kemerdekaan seorang diri, ia memerlukan Bung Hatta sebagai pendamping. "Karena aku orang Jawa dan dia orang Sumatra. Demi persatuan aku memerlukan seorang dari Sumatra."
Ternyata sejak dulu, Bung Karno ...
Rupanya sejak dulu, Ir Sukarno konsekuen dengan pendiriannya. Ini terbukti ketika detik-detik menjelang pembacaan teks Proklamasi RI di Jakarta, tanggal 17 Agustus 1945. Bertepatan dengan 8 Ramadhan 1364 Hijriah.
Pada hari Jumat itu, Bung Karno dijadwalkan menyampaikan teks yang amat sangat penting tersebut, tepat pukul 10.00 WIB. Tidak sendirian, melainkan bersama Mohammad Hatta.
Orang-orang sudah berkerumun di rumah Bung Karno tempat teks superpenting itu akan dibacakan. Kabar memang sudah beredar dari mulut ke mulut setidaknya sejak 16 Agustus 1945.
Sementara, jarum jam kian mendekati 10.00 WIB.
Hingga ketika didesak oleh dr Mawardi, yang bertindak selaku Kepala Keamanan Barisan Pelopor, Bung Karno pun dengan tegas menjawab, ”Saya tak mau membacakan proklamasi kalau Hatta tidak ada. Jika Mas Mawardi tidak mau menunggu, silakan baca sendiri!”
Hampir waktu bersamaan, terdengar orang-orang berteriak, ”Bung Hatta datang! Bung Hatta datang!”
Tokoh kelahiran tanah Minangkabau ini sejak dahulu memang masyhur sangat disiplin waktu. Lima menit sebelum waktu yang ditetapkan, Bung Hatta datang. Setelah masuk ke kamar Bung Karno, keduanya dengan pakaian putih-putih menuju ruang depan.
Di sini, telah siap mikrofon dengan pengeras suaranya. Maka dibacakanlah teks Proklamasi RI tepat pukul 10 pagi. Inilah peristiwa paling bersejarah bagi bangsa Indonesia. Dan, momen ini hanya berlangsung satu jam, dengan amat sederhana.
Ada sepasukan Barisan Pelopor dari Panjaringan, Jakarta Utara, yang datang terlambat dan meminta agar pembacaan proklamasi diulangi kembali. Tentu saja permintaan ini tidak dikabulkan.
Tapi, Bung Karno yang tidak tega melihat para pemuda yang datang dengan berbaris sejauh kurang lebih 20 km dan telah mandi keringat, meskipun dalam keadaan demam, menjelaskah kembali mengenai proklamasi. Lebih-lebih kebanyakan mereka sedang melaksanakan puasa Ramadhan.
Mereka lalu diberi pengertian. Salinan naskah Proklamasi RI juga diberikan. Semua tampak lega.
Kediaman Bung Karno tempat dibacakannya teks Proklamasi RI tentu sangat bersejarah. Namun, rumah itu telah diratakan dengan tanah pada tahun 1960, yakni saat Pemerintahan Bung Karno sendiri.