Houthi Beri Tenggat Empat Hari kepada Israel Agar Izinkan Bantuan Kemanusiaan Masuk Gaza
Houthi mengancam lanjutkan operasi laut jika Israel tak mengindahkan peringatan.
REPUBLIKA.CO.ID, SANAA -- Pemimpin Houthi Abdul Malik al-Houthi pada Jumat (7/3/2025), memberi Israel tenggat waktu empat hari kepada Israel agar mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Jalur Gaza atau pihaknya akan melanjutkan operasi angkatan laut melawan Israel. Al-Houthi menuduh Israel mengingkari komitmen berdasarkan kesepakatan gencatan senjata, dalam pidato yang dipublikasikan oleh TV Al-Masirah yang dikelola Houthi.
Ia menambahkan bahwa Israel "berusaha untuk kembali ke kebijakan genosida melalui kelaparan di Gaza," dan menekankan bahwa hal itu "tidak dapat ditoleransi."
"Kami akan memberikan tenggat waktu empat hari bagi para mediator (gencatan senjata)," kata pemimpin Houthi tersebut. Setelah itu, kami akan melanjutkan operasi angkatan laut kami melawan musuh Israel, jika mereka terus mencegah bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza dan terus menutup penyeberangan sepenuhnya."
Sejak November 2023, Houthi di Yaman telah meluncurkan serangan rudal dan pesawat nirawak terhadap target-target Israel dan kapal-kapal kargo yang terkait dengan Israel di Laut Merah sebagai "solidaritas untuk Gaza."
Pada Ahad pekan lalu, Israel menghentikan masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza karena Benjamin Netanyahu menolak untuk memulai negosiasi tahap kedua dari kesepakatan gencatan senjata tiga tahap antara Tel Aviv dan kelompok perlawanan Palestina, Hamas. Kepala keuangan Israel sayap kanan Bezalel Smotrich menyerukan "pembukaan gerbang neraka" di Jalur Gaza setelah keputusan pemerintah untuk menghentikan bantuan kemanusiaan ke daerah kantong Palestina yang terkepung itu.
Serangan brutal Israel di Gaza sejak Oktober 2023 yang menewaskan lebih dari 48.400 jiwa dan melukai 111.800 lainnya serta membuat daerah kantong itu hancur, dihentikan sementara berdasarkan perjanjian gencatan senjata dan pertukaran tahanan yang berlaku pada 19 Januari.
Pakar PBB pada Kamis (6/3/2025) memberikan peringatan atas keputusan Israel menghentikan semua bantuan kemanusiaan ke Gaza, dengan menyebut situasi tersebut sebagai "penggunaan kelaparan sebagai senjata". "Dengan sengaja memotong pasokan vital, termasuk yang berkaitan dengan kesehatan seksual dan reproduksi, dan alat bantu bagi penyandang disabilitas, Israel sekali lagi menjadikan bantuan sebagai senjata," kata mereka.
"Ini adalah pelanggaran serius terhadap hukum kemanusiaan dan hak asasi manusia internasional, serta kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan Statuta Roma," lanjut mereka.
Menurut pakar PBB sebagai kekuatan pendudukan, Israel selalu berkewajiban untuk memastikan kecukupan makanan, pasokan medis, dan layanan bantuan lainnya. Para pakar juga menekankan bahwa gencatan senjata tidak pernah menghentikan serangan terhadap rakyat Palestina.
Sejak berlaku pada 19 Januari, pasukan Zionis Israel telah menewaskan setidaknya 100 orang Palestina di Gaza, membuat jumlah total korban tewas mencapai 48.400. "Dengan melanjutkan pengepungan dan pemboman di Gaza, Israel telah mengubah secara sepihak ketentuan perjanjian gencatan senjata dan langkah selanjutnya," kata para pakar tersebut.
Mereka mendesak mediator gencatan senjata Gaza yaitu Mesir, Qatar dan AS untuk campur tangan guna menjaga perjanjian tersebut sesuai dengan kewajiban yang ada di hukum internasional.
"Kami mendesak negara-negara di seluruh dunia untuk mengingat kewajiban mereka sendiri berdasarkan hukum internasional dan bertindak untuk mengakhiri serangan brutal dan tak berujung ini terhadap rakyat Palestina dan hak-hak mereka, agar seluruh dunia tidak terseret dalam badai pelanggaran hukum dan ketidakadilan ini," tegas mereka.
Menurut kelompok perjuangan kemerdekaan Palestina, Hamas, pada Kamis (6/3/2025), mediator gencatan senjata Gaza terus berupaya mendesak Israel melakukan perundingan tahap kedua perjanjian. "Para mediator (Mesir, Qatar, dan AS) terus melakukan kontak untuk memastikan pelaksanaan fase-fase tersisa dari kesepakatan gencatan senjata dan memaksa pendudukan untuk memulai negosiasi untuk tahap kedua kesepakatan tersebut," sebut pernyataan Juru bicara Hamas Hazem Qaseem.
"Hamas tetap dengan komitmennya atas semua tahap perjanjian, dan berharap kontak yang dilakukan mediator akan mengarah pada penerapan seluruh tahap perjanjian oleh pendudukan Israel," tambahnya
Pada Rabu, Presiden AS Donald Trump mengancam Hamas dengan "konsekuensi berat" jika kelompok itu belum membebaskan sandera Israel baik yang hidup ataupun jenazah mereka.
Hamas menolak untuk melanjutkan perjanjian berdasarkan persyaratan ini, dan bersikeras agar Israel mematuhi ketentuan gencatan senjata dan segera memulai negosiasi untuk tahap kedua, yang mencakup penarikan penuh pasukan Israel dari Gaza dan penghentian total perang. Perjanjian gencatan senjata tiga tahap yang disetujui Hamas-Israel mencakup pertukaran tahanan, di mana semua tawanan Israel – hidup dan mati – akan dikembalikan sebagai imbalan pembebasan tahanan Palestina di penjara Israel.
Sejauh ini, 25 sandera Israel dan delapan mayat telah dibebaskan sebagai imbalan atas ratusan tahanan Palestina di bawah tahap pertama perjanjian gencatan senjata. Namun setelahnya, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menolak untuk melanjutkan perundingan tahap kedua dari perjanjian gencatan senjata Gaza. Sebaliknya, ia ingin memperpanjang tahap pertama kesepakatan yang berlangsung selama enam pekan.