Stok Uranium Iran Mendekati Level Bisa untuk Membuat Bom Nuklir, PBB Gelar Rapat
Rapat DK PBB membahas uranium Iran pada Rabu digelar tertutup.
REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Dewan Keamanan PBB akan menggelar pertemuan tertutup pada Rabu (12/3/2025) guna membahas stok uranium Iran yang mendekati level bom nuklir. Pertemuan itu digelar atas permintaan 15 anggota di antaranya Prancis, Yunani, Panama, Korea Selatan, Inggris, dan Amerika Serikat.
Mereka juga meminta DK PBB untuk membahas kewajiban Iran kepada Badan Energi Atom Internasional (IAEA) untuk menyediakan "informasi yang dibutuhkan untuk mengklarifikasi masalah penting terkait materi nuklir yang tidak terdeklarasikan di beberapa titik lokasi di Iran," ujar salah seorang diplomat.
Utusan Iran untuk PBB di New York tidak segera merespons permintaan klarifikasi atas rencana pertemuan ini. Sebelumnya, Iran telah berulang kali membantah mengembangkan senjata nuklir. Namun, berdasarkan laporan IAEA, Iran mengakselerasi pengayaan uranium hingga ke level pemurniaan 60 persen, atau kurang 30 persen dari kebutuhan produksi bom nuklir.
Negara-negara Barat menilai tidak perlu memproduksi uranium dalam skala seperti yang diproduksi Iran saat ini di bawah kepentingan program sipil, dan tidak ada negara yang tidak membuat bom nuklir pada level pengayaan uranium hingga 60 persen atau lebih. Namun, Iran selalu menegaskan, bahwa program nuklirnya untuk kepentingan damai.
Kepala Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Rafael Mariano Grossi pada Senin (3/3/2025) mengungkapkan bahwa, Iran saat ini mengalami lonjakan produksi uranium di level 60 persen. Iran diprediksi bisa meningkatkan pengayaan uraniumnya ke level bom nuklir atau 90 persen dan mampu memproduksi enam bom nuklir dalam waktu yang cepat.
"Merujuk laporan terkahir saya, stok uranium U-235 Iran meningkat hingga 60 persen telah bertambah 275 kilogram, naik 182 kilogram dalam tiga bulan terakhir. Iran satu-satunya negara non-nuklir yang melakukan pengayaan uranium pada level ini, membuat saya sangat khawatir," kata Grossi dalam sebuah pernyataan dikutip Anadolu.
Grossi mengekspresikan "kekhawatiran serius" atas masalah keamanan yang tidak teratasi, dan menekankan pentingnya mengatasi masalah keamanan itu sehingga mereka bisa percaya diri bahwa program nuklir Iran "hanya untuk perdamaian".
Pada Maret 2023, Iran dan IAEA sepakat untuk memperkuat kerja sama, menegaskan pada masalah-masalah keselamatan penting, dan mempersilakan jalan pada tindakan verifikasi sukarela, yang detailnya akan difinalisasi pada sebuah pertemuan teknis. Lalu dalam keterangan persnya, Senin, Grossi mengatatakan, "Kami selalu menawarkan kepada Iran jalan untuk membersihkan catatannya jika mereka yakin ada keraguan di sana. Sehingga, saya berharap tahun ini membawa kami lebih dekat pada kejelasan. Saya percaya ini diperlukan di tengah ketegangan internasional saat ini; kita harus kembali ke jalan yang benar."
Pada akhir pekan lalu, Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei menolak upaya negosiasi Amerika Serikat (AS) terkait program nuklir Iran. Berbicara di hadapan sejumlah pejabat tinggi, Khamenei tidak spesifik menyebut AS, tapi mengatatakan, satu "pemerintahan perundung" ngotot untuk mendorong negosiasi.
"Negosiasi mereka tidak bertujuan untuk menyelesaikan masalah, tapi untuk ... mari bicara untuk menerapkan sanksi yang kami mau terhadap pihak lawan di meja perundingan," kata Khamenei dilaporkan CBS, Sabtu (8/3/2025).
Pernyataan Khamenei dilontarkan sehari setelah Presiden AS Donald Trump mengeklaim telah mengirim surat kepada Ayatollah dengan tujuan mencari kesepakatan baru dengan Teheran agar menghentikan program nuklir dan menggantikan kesepakatan yang pernah ditarik AS saat ia berkuasa pada periode pertama. Namun, seperti dilaporkan AFP, Iran mengatakan belum menerima surat Trump itu.
"Kami mendengar itu (surat Trump) tapi kami belum menerimanya," ujar Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi dikutip televisi nasional Iran.