Cinta Kartini pada Alquran Usai Membaca Tafsir Faid Al-Rahman

Shaleh Darat menerjemahkan Alquran dengan huruf pegon agar tak dicurigai penjajah.

ANTARA/Irfan Anshori
Hari Kartini (Ilustrasi).
Red: A.Syalaby Ichsan

REPUBLIKA.CO.ID, Hari Kartini yang jatuh pada 21 April ini mengingatkan kita atas perjuangan sosok Muslimah yang gigih menentang adat. Dalam surat-suratnya yang dikenal dengan Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini mengutarakan jeritan hatinya kepada sahabat-sahabat pena seperti Ny. Abendenon, Nn Stella Zeenhandalar, Ny Marie Ovink Soer, Ir van Kol hingga Ny Nelle van Kol.

Baca Juga


Ahmad Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah mengutip surat pahlawan perempuan yang lahir pada akhir abad ke-19 ini. Salah satunya setelah Kartini membaca Tafsir Alquran dalam bahasa Jawa karya KH Soleh Darat. 

Seperti diketahui, Kartini sebelumnya mengutarakan kegundahannya terhadap kitab suci yang tidak bisa ia ketahui isinya karena kendala bahasa. Salah satunya apa yang dia tulis kepada Stella:”.. Quran terlalu suci tiada boleh diterjemahkan ke dalam bahasa manapun juga. Disini tiada orang yang tahu bahasa Arab. Orang diajar disini membaca Quran tetapi yang dibacanya tiada ia mengerti. Pikiranku, pekerjaan gilakah pekerjaan semacam itu..”

Namun, pandangan Kartini berubah setelah ia membaca tafsir Alquran. Jeritan jiwa Kartini bisa kita lihat dari salah satu isi suratnya sebagai berikut: “Wat zijn wij toch stom, toch dom, om een heel leven lang een berg schatten naast ons te hebben et het niet te zien, niet te weten.”

“Alangkah bebalnya, bodohnya kami tiada melihat, tiada tahu bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaan (Alquran) di samping kami.”

Lebih lanjut, Kartini menulis: Wij zochten niet bij demenschen troost wij klemden ons vast aan Zijn hand. “Kami tidak perlu mencari pelipur hati pada manusia, kami hanya berpegang teguh pada tangan Allah”

 

 

Guru yang pertama kali membimbing Kartini adalah KH Shaleh Darat. Pengamat sejarah dari UIN Sunan Kalijaga Dr Kasori Mujahid menjelaskan, persinggungan antara Kiai Shaleh Darat dengan Kartini menjadi pemicu dari lahirnya kitab tafsir Alquran Jawa pertama di Nusantara, yakni Kitab Faid Al Rahman.

"Itu tidak lepas dari peran seorang Kartini yang memiliki rasa ingin tahu yang besar tentang Islam," ujar dia dikutip dari maktabu.republika.co.id.

Shaleh Darat merupakan seorang kiai asal Semarang yang juga merupakan guru dari KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan. KH Soleh Darat memiliki nama lengkap Syekh Haji Muhammad Shalih ibn Umar as-Samarani. Dia adalah putra Kiai Umar, salah seorang pejuang dalam Perang Jawa (1825-1830). 

Shaleh kecil belajar agama kepada ayahnya sendiri. Dia belajar surat-surat pendek, ilmu tajwid hingga fiqih ibadah sederhana seperti wudhu dan sholat. Shaleh pun melanjutkan pelajaran agama di beberapa pesantren. Setelah itu, Shaleh berangkat ke Kota suci Makkah untuk belajar kepada beberapa ulama dan kiai hingga mendapat ijazah. 

Beberapa ulama yang menjadi gurunya yakni Sayyid Muhammad ibn Zaini Dahlan  (mufti mazhab Syafii di Makkah),  Syekh Muhammad ibn Sulaiman (seorang ulama di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi), Sayyid Muhammad Salih az-Zawawi al Makki (pengajar di Masjidil Haram). 

Kiai Shaleh Darat kemudian pulang ke Tanah Air setelah ayahnya wafat di Makkah. Di jawa, dia belajar lagi kepada beberapa ulama dari berbagia pesantren. Kiai Soleh pun menikah dan mendirikan pesantren yang lambat laut terkenal dengan nama Pondok Pesantren Darat. 

KH Shaleh Darat as-Samarani (wafat 1903 M) - (dok nahdlatul ulama)

 

M Masrur dalam Kyai Soleh Darat, Tafsir Faid Al-Rahman dan RA Kartini menjelaskan, RA Kartini menjadi salah satu tokoh yang belajar kepada Kiai Shaleh Darat. Catatan cucu Kiai Shaleh Darat menjelaskan, Kartini punya pengalaman tidak menyenangkan saat mempelajari agama Islam.

Guru ngajinya memarahinya karena dia bertanya tentang arti sebuah ayat Alquran. Saat berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak, Kartini menyempatkan diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh Kiai Shaleh.  Saat itu, Kiai Shaleh sedang mengajarkan tafsir Surat al-Fatihah. Kartini amat tertarik dengan model pengajian dari Romo Kiai. 

Dalam sebuah pertemuan, Kartini pun meminta agar Alquran diterjemahkan karena tidak ada gunanya membaca kitab suci tanpa mengetahui artinya. Hanya saja, penjajah Belanda memang punya kebijakan resmi melarang orang menerjemahkan Alquran.  

Mbah Shaleh melanggar aturan ini. Dia menerjemahkan Alquran dengan ditulis dalam huruf arab gundul (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah. Kitab tafsir dan terjemahan Alquran ini diberi nama Kitab Faid ar-Rahman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. 

Kitab ini dihadiahkan kepada RA Kartini saat dia menikah dengan RM Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang. Saat itu, RA Kartini amat menyukai hadiah itu. Dia bahkan mengatakan, “Selama ini al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang benderang sampai kepada makna tersiratnya. Sebab Romo kiai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.” 


sumber : Pusat Data Republika
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler