REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ratna Puspita*
Pagi. Matahari baru saja mulai naik menerangi Jakarta di bagian utara. Orang-orang berjalan dengan santai ke pasar. Ada ibu yang membawa tas keranjang sembari menggandeng anak.
Ada laki-laki mengendarai sepeda motor dan perempuan duduk di belakang. Anak mereka berusia 5 tahun berdiri di bagian depan sepeda motor.
Pasar itu kecil, menempati jalanan, dengan kios, toko, los di bagian kanan dan kiri jalan. Jalannya tidak becek, tapi sampah bekas sayuran kadang mudah ditemui.
Sesekali, sepeda motor mencoba menerobos orang-orang yang berjalan di pasar. Jaga jarak sosial alias social distance measure mungkin hal yang tidak mereka kenal ketika dunia sedang 'beristirahat' lantaran wabah corona.
Orang-orang berdekatan, bersenggolan, dan bersentuhan di pasar. Orang-orang di pasar saling menyapa, bersalaman. Bahkan, berpisah sembari pelan-pelan saling melepaskan genggaman tangan. Ada juga yang mencium tangan karena yang dihampiri adalah orang yang lebih tua.
Suasana pasar tradisional ini berjalan sangat normal. Hiruk-pikuk kekhawatiran soal virus corona 2019 atau Covid-19 seperti tidak menghampiri pasar ini.
Mereka bukan berarti tidak tahu virus corona yang sudah membunuh 7,007 orang di seluruh dunia hingga Selasa (17/3) pagi. Seorang pedagang minyak dalam kemasan sembari tertawa menyebut virus ini ketika menjajakan barang dagangannya. "Beli minyak bukan cuma buat masak, tapi bisa cegah corona," kata si ibu sembari menurunkan masker kain di wajahnya.
Seorang pedagang jamu mengatakan pesanan jamu jahe, kunyit, temulawak adalah yang paling diburu. Pedagang jamu berusia pertengahan 40an ini pun selalu menawari pembeli apakah kunyitnya mau ditambah dengan rimpang lainnya seperti temulawak. "Buat cegah corona," kata dia.
Suasana pasar yang seperti ini tentu berbeda dari keriuhan di media sosial soal virus corona. Bukan berarti mereka terlalu santai, tapi bisa jadi informasi tentang bahaya virus corona tidak sampai ke tangan mereka, meski mereka adalah penduduk yang sudah berusia lebih dari 60 tahun dan masuk kategori rentan.
Bahkan mungkin, masyarakat ini termasuk kelompok yang menganggap memeriksaan kesehatan bukan hal yang paling penting. Atau, badan lemas dan lesu hanya dianggap sebagai pegal linu yang sembuh dengan jamu.
"Kalau belum sakit banget, enggak usahlah ke dokter." Atau, "yaudahlah, semua orang bakal mati kok."
Kelompok masyarakat yang datang ke pasar tradisional ini seharusnya tetap menjadi kelompok yang aman dan tidak tersentuh virus corona. Namun, penyebaran virus corona ini di seluruh dunia menunjukkan kita tidak bisa berpangku tangan menghadapinya.
Menilik penularan di Indonesia, virus corona adalah virus yang terpapar ke kelas menengah ke atas. Saya tidak sedang bermaksud untuk menyudutkan suatu kelas tertentu dalam masyarakat.
Virus ini menulari mereka yang datang dari luar negeri atau mereka yang berkumpul di kafe. Luar negeri dan kafe adalah lokasi yang lebih akrab bagi kelompok kelas menengah ke atas.
Peluang tertular paling besar adalah pada mereka yang berada di kelompok kelas menengah dan kelas atas. Atau, kelompok-kelompok yang bersentuhan dengan kelas ini.
Sejak case 01 pada 2 Maret 2020 hingga 16 Maret 2020, atau 14 hari, ada 134 kasus Covid-19 di Indonesia. Angka ini mungkin masih kecil dibandingkan negara lain, tetapi negara lain menemukan kasus pertamanya lebih dulu dari Indonesia.
Narasi pemerintah pun sudah berubah dibandingkan bulan lalu. Dulu narasinya hanya soal cuci tangan dengan sabun, dan menerapkan pola hidup sehat.
Kini, narasi pemerintah bukan cuma soal cuci tangan. Pemerintah meminta masyarakat cara untuk mencegah penularan adalah membatasi mobilitas alias pergerakan.
Pembatasan mobilitas atau pergerakan untuk berarti kita sebagai masyarakat harus memperlambat laju atau bahkan diam. Pemerintah harus lockdown atau masyarakat atau slow down.
Diam di rumah adalah opsi yang tidak bisa ditawar, khususnya bagi orang-orang yang bepergian dengan transportasi umum. Sebab, bersentuhan dengan orang yang terpapar virus, baik bergejala atau tidak bergejala, akan berpotensi menularkan virus yang kita semua minim informasi tentangnya.
Kita semua minim informasi tentang virus corona karena virus ini adalah corona jenis baru. Pada awalnya, banyak yang bilang virus ini hanya flu dan bisa sembuh sendiri (tentu saja sembuhnya dengan pengawasan dan isolasi dokter). Belakangan, sejumlah orang yang sembuh mengaku mengalami kesulitan bernafas atau ada kemungkinan penurunan fungsi paru-paru.
Diam memang bukanlah opsi bagi semua orang, tetapi diam menjadi satu-satunya opsi untuk mencegah virus ini menyerang orang-orang yang kita sayangi. Diam adalah cara yang paling mungkin kita lakukan untuk membantu pemerintah mengatasi virus ini menyebar. Diam adalah cara kita melindungi masyarakat yang lebih luas, khususnya kelompok-kelompok yang minim akses informasi dan fasilitas kesehatan seperti orang-orang di pasar.
*) penulis adalah jurnalis republika.co.id