REPUBLIKA.CO.ID, oleh Haedar Nashir
Apa yang dapat diberikan kaum muslim ketika umat manusia tengah dilanda krisis kehidupan? Apakah memberi solusi atau malah menambah rumit masalah. Tentu yang terakhir tidak menjadi pilihan, karena sejatinya Islam sebagai agama selalu memberi jalan keluar!.
Kehadiran Islam untuk menjadi rahmat bagi semesta kehidupan: “Kami tidak mengutus engkau Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam” (QS Al-Anbiya: 107). Al-Quran dan Hadis Nabi mengandung ajaran perintah, larangan, dan petunjuk-petunjuk yang sangat kaya dan mencerahkan dalam memberi solusi bagi kehidupan umat manusia yang membawa segala kebaikan.
Namun tidak jarang sebagian umat muslim gagal memahami dan mengimplementasikan nilai luhur dan kesempurnaan ajaran Islam yang rahmatan lil-‘alamin itu. Menurut Muhammad Abduh, al-Islamu mahjuubun bil muslimin, bahwa Islam tertutup oleh kaum muslimin. Islam sebagai jalan terang sering diselimuti gelap karena pemahaman umatnya yang jumud, kaku, sempit, dan bias atas ajaran yang sempurna dan menyeluruh itu.
Islam sebatas dipahami kulit luar minus isi dan fungsi yang mencerahkan kehidupan. Apalagi ketika Islam dipahami oleh umatnya yang tidak berbasis ilmu dengan beragama sebatas rasa dan kebiasaan. Tatkala Islam memberi jalan kemudahan, umatnya membuatnya menjadi sulit. Padahal ajaran Allah yang paripurna ini ditegaskan sebagai “hudan lil-nas” atau jalan terang bagi kehidupan. Nabi Muhammad membuktikan risalah Allah itu dalam sunnahnya yang melintasi zaman. Sedang para ulama sebagai pewaris Nabi banyak memberi khazanah Islam yang kaya dalam menghadapi dinamika kehidupan.
Bangun Peradaban
Islam dihadirkan li-shalahil ‘ibaad dunya-hum wa ukhra-hum, untuk kesematan dan kebahagiaan hidup umat manusia di dunia dan akhirat. Islam adalah risalah bagi kehidupan umat manusia sepanjang masa dan keadaan. Karenanya, agama yang dibawa Nabi akhir zaman ini mengandung seluruh aspek kehidupan, sehingga bukan agama ”millenari” atau tempat pelarian orang-orang jabariyah yang ingin menjauhi dunia.
Islam tidak mengajarkan umatnya asyik-masyuk dalam urusan spiritual dengan mengabaikan urusan kehidupan di dunia. Ketika Muhammad dilanda ‘am al-hazm atau tahun kesedihan karena ditinggal kematian Khadijah dan Abu Thalib di tengah teror kaum Quraisy, Nabi diisrakan dan dimikrajkan Allah. Dia diperjalankan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha serta dinaikkan sampai ke Aras tertinggi untuk menghadap Allah.
Siapa yang tidak bahagia menghadap Allah di Sidrat al-Muntaha? Konon para sufi seperti Al-Hallaj dan Siti Jenar mendambakan perjalanan ruhanian tertinggi itu dalam “wihdat al-wujud” atau “Manunggaling Kawula Gusti”. Suatu paham sufisme yang ghuluw (ekstrem) dan banyak tidak sejalan dengan umumnya akidah kaum muslimun.
Risalah Muhammad tidak untuk urusan spiritual yang egositik itu. Dari Sidrat al-Muntaha itulah Muhammad kembali lagi ke Makkah dengan membawa perintah shalat. Nabi hadir kembali ke bumi tempat menyebarkan risalah rahmatan lil-‘alamim. Risalah yang membawa dirinya harus berhadapan dengan kepongahan kaum Quraisy dan bangsa Arab yang jahiliyah, hingga menuntutnya untuk hijrah ke Yasrib untuk membuka jalan baru mewujudkan risalah Islam.
Di kawasan Yasrib yang masih dusun itulah Nabi membangun tatanan dunia baru. Nabi persatukan kaum Muslimun dengan kaum Nasrani dan Yahudi dalam hidup kemajemukan melalui Piagam Madinah yang inklusif. Nabi bersama para sahabat dan kaum muslimun membangun pondasi akhlak dengan keadaban luhur, berniaga dengan halal dan baik, memuliakan laki-laki dan perempuan dalam martabat sama, mengajarkan perdamaian, menyelsaiakan masalah tanpa pertumpahan darah, dan membangun peradaban maju.
Di Yasrib itulah selama sekitar 13 tahun dibangun tatanan kehidupan al-Madinah al-Munawwarah. Kota peradaban yang cerah-mencerahkan. Dari Madinah itu pula pasca-Nabi Islam meluas dan membangun peradaban berkemajuan yang melintasi ruang dan waktu ke puncak zaman keemasan. Lahirlah peradaban Islam yang mengglobal dan modern tatkala Barat masih dalam era kegelapan. Itulah jejak risalah Islam yang melahirkan peradaban utama bagi kehidupan semesta!
Memberi Solusi
Islam sukses membangun peradaban semesta karena ajaran ini memgandung nilai-nilai yang melintasi segala hal. Ajaran akidah, ibadah, dan akhlak bersenyawa dengan urusan mu’amalah dunyawiyah sehingga melahirkan dimensi kaffah dari risalah yang dibawa Nabi akhir zaman itu sebagai rahmatan lil-‘alamim. Memahami Islam pun tidak cukup dengan tafsir bayani (tekstual) tetapi dengan burhani (rasional-kontekstual) dan irfani (spiritual ihsan) sehingga melahirkan pandangan Islam multidimensi dan multiperspektif.
Cermatilah dengan seksama salah satu ajaran tentang ibadah dalam Islam. Ibadah shalat misalnya, tidak cukup berhenti di aspek rukun tentang tatacara dan tempat, tetapi sekaligus menyangkut dimensi khusyuk dan tahnisah (fungsi kebaikan) dari ibadah wajib lima kali sehari itu. Dalam beribadah, selain harus mencapai taqarrub kepada Allah, niscaya melahirkan amal shaleh, dan tidak menjadikan diri terbelenggu kemusyrikan, sebagaimana firman-Nya: “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan pada apapun dalam beribadat kepada Tuhannya" (QS Kahfi: 110). Shalat harus membuahkan “tanha ‘an al-fahsya wa al-munkar”.
Dalam rukun shalat dan ibadah pun terbuka banyak kaifiyah atau cara yang memudahkan demi tercapainya kemaslahatan hidup manusia. Mushala dan masjid bukan sekadar wujud bangunan fisik tertentu, tetapi sebagai tempat shalat dan sujud di manapun berada. Di dalam beribada terdapat rukhshah atau keringanan, kemudahan, dan kekecualian lebih-lebih di kala keadaan darurat. Ibadah bukan untuk ibadah. Shalat bukan untuk shalat. Di balik itu terdapat tujuan hakiki mendekatkan diri kepada Allah dan melahirkan ihsan pada kemanusiaan dan kehidupan semesta.
Dari ibadah itu lahir pencerahan kehidupan. Ketika kaum muslim shalat menghadap Baitul Maqdis, Nabi diperintahkan mengganti arah kiblat ke Kakbah di Masjidil Haram Makkah. Saat itu sebagian muslim mu’allaf, menurut riwayat Ibnu Abbas, ada yang menjadi murtad. Allah kemudian menurunkan ayat Al-Quran Surat Al-Baqarah 143 -144, yang intinya arah shalat itu menguji keimanan, ibadah, dan ketaatan muslim terhadap Allah dan Rasulnya lebih dari sekadar formalitas. Insan muslim bahkan diidealisasikan agar menjadi sosok “ummatan wasatha litakuunu syuhada ‘ala al-nas”, sebagai umat tengahan yang menjadi saksi bagi kehidupan.
Menghadap Kiblat dalam shalat pun bukan sekadar fisik, tetapi harus masuk ke dimensi ruhani yang hakiki dan kebaikan yang diproduksi. Dalam Surat Al-Baqarah Allah berfirman yang artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 177).
Ibadah bagi setiap muslim niscaya melahirkan kesalihan individual dan sosial lebih dari sekadar formalitas dan rutinitas fisik. Sejalan dengan hakikat Islam sebagai agama penebar rahmat bagi kehidupan. Hatta dikala krisis yang melanda umat manusia sebuana, Islam dan segala perangkat keagamaannya niscaya memberi jalan keluar. Agama, tulis Peter L Berger, harus menjadi “the sacred canopy” atau langit pelindung suci di kala kehidupan dilanda “chaos” dan “anomie”.
Risalah Nabi di kala krisis wabah (tha’un) yang menimbulkan “chaos” dalam jagad kemanusiaan semseta adalah wujud dari kanopi suci Islam dalam memberi solusi. Rasul memberi pedoman: “Jika engkau mendengar wabah di suatu tempat maka engkau jangan ke sana, jika menimpa di tempatmu janganlah keluar”, “yang sakit jangan dicampur dengan yang sehat”, serta “jangan melakukan hal mudharat dan menimbulkan memudharatan”. Tuntunan keagamaan Nabi itu lebih dari cukup sebagai resep hadapi kesusahan hidup. Semua tergantung pada obligasi moral, wawasan, pikiran, dan tindakan kaum muslim sendiri. Ingatlah tugas utama kaum muslim selain beribadah ialah menjalankan peran kekhalifahan di muka bumi. Di sinilah kehadiran Islam sebgai risalah kehidupan!