REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rifaat Tahtawi (1801-1873), seorang mujaddid dari Mesir mengajukan gagasannya ihwal politik pemerintahan. Menurut dia, politik dapat dibagi dalam lima macam.
Pertama, politik profetik (nubuwah). Inilah politik khusus yang dijalankan para nabi dan rasul Allah SWT. Proses pemilihan nabi dan rasul adalah hak dan wewenang Allah Ta'ala.
Kedua, politik kekuasaan/pemerintahan. Politik ini bertujuan mengatur tata negara, menggalakkan pembangunan untuk kepentingan bangsa. Politik ini dikenal sebagai politik tinggi kenegaraan.
Ketiga, politik umum. Yaitu, politik kepemimpinan dalam suatu kelompok masyarakat dalam konteks lebih kecil dari negara. Misalnya, kepemimpinan dalam militer atau organisasi sipil.
Keempat, politik khusus, yaitu politik dalam tata aturan rumah tangga sebagai masyarakat terkecil. Dan kelima, politik personal. Dalam arti, sistem tata aturan setiap individu dari manusia untuk mengatur kehidupannya sendiri.
Tahtawi mensinyalir ada dua jalur kekuatan politik. Pertama, kekuatan rakyat dimana negara harus menjamin dan menyalurkan hak-hak politiknya, memberikan kebebasan agar bisa menikmati hasil pembangunan negaranya dan juga melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai warga negara.
Kedua, kekuatan pemerintah/penguasa yaitu sebagai pembuat undang-undang, pelaksana pemerintahan dan pengawas pemerintah dalam melaksanakan pembangunan. Sistem kekuasaan yang kedua ini dibagi menjadi tiga: legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Dalam proses tasyri' (penetapan hukum), Tahtawi melakukan pendekatan dengan memadukan warisan fikih Islam dengan perundang-undangan modern.
Ia bercita-cita merekonstruksi tata aturan hukum dan perundang-undangan dengan berpijak kepada dua landasan yaitu: warisan sistem tata aturan hukum Islam (fikih Islam) dan adopsi sistem perundang-undangan modern yang sesuai dengan kaidah-kaidah Islam. Dengan demikian, produk hukum yang dihasilkan akan mampu membawa kepada kesejahteraan manusia.