REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: A Faroby Falatehan, Dosen Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB
Virus covid 19 sudah mengancam seluruh negara di dunia, yang mengakibatkan lebih dari 1 juta orang terkena virus ini dan lebih dari 100 ribu orang meninggal. Begitu dahsyatnya serangan virus ini sehingga menjadi suatu pandemi. Bukan saja korban jiwa akibat virus ini, tetapi juga korban harta benda.
Akibat pandemi ini begitu banyak masyarakat yang menjadi tidak bekerja. Hal ini mengakibatkan banyaknya masyarakat yang sulit untuk mendapatkan makanan, baik karena tidak ada uang ataupun penjualnya yang tidak jualan lagi karena bangkrut.
Kerugian pandemi ini sangat besar, ini dapat dilihat dari beberapa negara yang mengajukan klaim kepada Pemerintah Cina, mengingat virus ini pertama kali menyebar dari Wuhan, Provinsi Hubei Cina. Karena itu tidak salah jika Presiden Amerika Serikat menyebut virus ini sebagai virus Wuhan, walaupun tentu saja Pemerintah Cina merasa keberatan dengan nama virus Wuhan ini.
Belum lama ini, Pemerintah Jerman mengajukan klaim ganti rugi kepada Pemerintah Cina sebesar Rp 2.512 triliun akibat covid 19 ini dikarenakan Pemerintah Cina dianggap banyak menyembunyikan hal ini sehingga menjadi masalah global yang belum bisa diatasi. Selain itu juga Inggris, Amerika Serikat, Prancis telah mengajukan juga.
Kerugian di Indonesia juga tidak hanya pada perusahaan besar seperti masa krisis ekonomi pada 1998, namun beberapa UMKM ikut terdampak, bahkan sampai ke sebagian petani pun ikut terdampak. Sebagaimana diketahui, beberapa pihak menyatakan pandemi ini diakibatkan karena kebiasaan masyarakat di Cina yang dapat memakan berbagai macam makanan, seperti katak, ular dan kelelawar.
Virus ini disebut berasal dari sup kelelawar di Kota Wuhan. Di pasar yang dianggap sebagai pusat penyebaran covid-19 ini, sayuran dan hewan dijadikan satu. Bahkan ketika sedang memotong, daerah sekitar tempat pemotongan tidak dibersihkan, dijadikan satu.
Pola yang dilakukan warga di pasar Wuhan ini jika dikaitkan dengan agama Islam, maka ini tidak halal dan tidak thoyib (baik). Hal ini dapat dilihat pada Alquran di Surah Al Maidah ayat 88, yang artinya “dan makanlah makanan yang halal lagi baik (thayib) dari apa yang telah dirizkikan kepadamu dan bertaqwalah kepada Allah dan kamu beriman kepada-Nya”.
Berdasarkan ayat tersebut, Allah memerintahkan kepada umat Islam untuk memakan makanan yang bukan saja halal, tetapi juga baik (thoyib). Hal ini agar tidak membahayakan tubuh bagi yang mamakan suatu makanan. Pada ayat tersebut dapat dilihat perintah memakan makanan yang halal dan thayib ini disejajarkan dengan bertaqwa kepada Allah. Sehingga dalam Islam, pembagian makanan itu jelas, ada yang haram, halal, makruh, mubah dan juga syubhat. Masing-masing memiliki karakteristik tersendiri dan ini sudah jelas rambu-rambunya dalam Alquran dan hadits.
Jika dikaitkan dengan kondisi saat ini, maka banyak masyarakat non muslim mulai melihat Islam, ajarannya, juga dan makanan yang halal dan thoyib. Di Singapura, begitu virus ini mulai menyerang, maka tidak sedikit warga non-Muslim Singapura yang mengantre di rumah makan yang dikelola atau dengan manajemen penyajian makanan secara Islam. Padahal di beberapa negara, ketika disebutkan makanan tersebut halal, maka meraka akan tersinggung, karena dianggap tidak sesuai dengan budaya.
Dalam dunia restoran dan makanan olahan, saat ini dapat dilihat restoran yang menguasai dunia berasal dari negara-negara maju, terutama makanan dengan masakan barat, dengan masakan western-nya. Misalnya Kentucky Fried Chicken, Mc. Donald, AW, Yoshinoya, Bread Talk dan lainnya.
Sementara jika lebih diteliti lagi, kepemilikan atau pun makanan yang diusahakan oleh umat Islam masih sedikit, terbatas pada UMKM saja. Misalnya masakan padang dan ayam geprek, tetapi itu hanya makanan lokal dari Indonesia, kita tidak tahu siapa pemiliknya, apakah orang Islam atau bukan.
Hal inilah yang menjadi miris, karena umat Islam di Indonesia, sebagai umat yang mayoritas di Indonesia, tetapi pengusaha restorannya masih bisa dihitung dengan jari. Karena itu dengan adanya pandemi covid ini, umat Islam harus dapat mengambil keuntungan.